Sukses

YLKI Minta Pemerintah Revisi Aturan Diskon Rokok

Diskon harga akan mengganjal upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok.

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah merevisi aturan yang memperbolehkan diskon harga rokok. Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan upaya pemerintah menurunkan tingkat konsumsi (prevalensi) merokok di Indonesia yang terus meningkat.

Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, untuk produk seperti rokok seharusnya dijual dengan harga yang mahal. Hal ini guna mengendalikan konsumsi rokok dan agar produk tersebut tidak dikonsumsi oleh anak di bawah umur.

Menurut Tulus, adanya aturan yang memperbolehkan rokok dijual dengan harga yang murah malah akan mengganjal upaya pemerintah untuk menurunkan tingkat konsumsi rokok di Indonesia.

"Intinya tidak ada diskon-diskonan. Rokok kok diberikan diskon," ujar dia di Jakarta, Selasa (11/6/2019).

Sebagai informasi, ketentuan diskon rokok tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Saat PMK Nomor 146/2017 direvisi menjadi PMK 156/2018, ketentuan mengenai diskon rokok tidak diubah.

Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85 persen dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.

Dengan demikian, konsumen mendapatkan diskon sampai 15 persen dari harga yang tertera dalam banderol. Aturan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang melarang potongan harga produk tembakau.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Alasan Pencabutan Bebas Cukai Rokok dan Minuman Alkohol di Batam

Pemerintah memutuskan mencabut pembebasan cukai atas barang konsumsi berupa barang kena cukai di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB) atau free trade zone (FTZ) di Batam, Bintan Karimum, dan Tanjung Pinang.

Hal itu berlaku 17 Mei 2019. Kebijakan ini diberlakukan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan kajian optimalisasi penerimaan negara di KPBPB pada  2018.

Dari kajian itu ada sejumlah hasil yang ditemukan antara lain ada perluasan ruang lingkup pemberian fiskal terhadap barang konsumsi akibat tidak jelasnya definisi ruang lingkup barang konsumsi yang membuka diskresi oleh pejabat yang berakibat tingginya penyelundupan barang-barang konsumsi dari KPBPB terutama Batam.

Selain itu, ditemukan indikasi penyalahgunaan dan ketidaktepatan insentif fiskal di KPBPB antara lain pembebasan cukai 2,5 miliar batang rokok senilai Rp 945 miliar (tahun 2018).

Hasil kajian KPK juga menemukan praktik-praktik pemasukan secara melanggar hukum atas barang yang terkena larangan/pembatasan melalui KPBPB ke wilayah pabean lainnya.

KPK pun merekomendasikan untuk mengevaluasi secara komprehensif atas pembentukan KPBPB. Selain itu, evaluasi komprehensif mencakup opsi antara lain penghentian pemberian pembebasan bea masuk, pajak dan cukai untuk barang konsumsi di KPBPB.

3 dari 4 halaman

Pencabutan Fasilitas Bebas Cukai di Batam Beri Keadilan bagi Pengusaha

Pelaku industri menyambut baik langkah pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang mencabut kebijakan bebas cukai di area perdagangan bebas (Free Trade Zone/FTZ).

Langkah tersebut dinilai akan memberikan keadilan bagi para pelaku industri di dalam negeri.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (GAPPRI),‎ Henry Najoan mengatakan, tidak ada kawasan khusus bebas cukai ini menunjukkan adanya itikad baik dari pemerintah terhadap usaha yang berkeadilan.

‎"GAPPRI mendukung keputusan Pemerintah mencabut kebijakan bebas cukai di FTZ Batam, Bintan, Karimun dan Tanjung Pinang. Keputusan ini tentu juga akan berdampak baik untuk penerimaan negara dari cukai tembakau," ujar dia di Jakarta, Selasa (28/5/2019).

Henry menyatakan, dari data yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), rokok tanpa cukai yang beredar di Batam selama ini mencapai 2,5 miliar batang. Sementara jumlah penduduk di Batam hanya sekitar 1,3 juta jiwa. 

"Perbandingan jumlah rokok tanpa cukai dengan jumlah penduduk ini sangat timpang, sehingga berpotensi rokok tanpa cukai akan beredar di luar kawasan FTZ," kata dia.

Dengan demikian, lanjut dia, kebijakan ini secara otomatis juga akan memerangi peredaran rokok ilegal.

Henry juga optimistis dengan ada kebijakan tersebut dapat menstimulus dunia usaha terutama sektor tembakau dapat kembali bergairah. 

"Sejak 17 Mei 2019, Dirjen Bea Cukai (DJBC) sudah menghentikan fasilitas di FTZ. Hal‎ tersebut memberi dampak positif untuk pendapatan negara dan persaingan dunia usaha. GAPPRI juga mendukung rencana ekstensifikasi barang kena cukai yang saat ini sedang dibahas," ujar dia.

4 dari 4 halaman

Penyederhanaan Tarif Cukai Berpotensi Matikan Industri Rokok Skala Kecil

Kebijakan penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai bagi industri tembakau dinilai akan merugikan industri rokok skala kecil dan menengah. Kebijakan ini bahkan berpotensi membuat industri kecil gulung tikar.‎

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Wilayah Surabaya Sulami Bahar mengatakan, ‎kebijakan simplifikasi akan berdampak negatif terhadap perkembangan industri tembakau skala kecil dan menengah serta industri rokok secara nasional.

Menurut dia, ada sejumlah dampak negatif jika kebijakan simplifikasi tersebut diterapkan. Salah satunya akan mendorong peredaran rokok ilegal semakin marak dan sulit dikendalikan.

"Kemudian, hasil dari para petani kurang terserap secara maksimal nantinya, selama ini kan industri yang serap. Pada dasarnya kami kurang setuju jika kebijakan tersebut diterapkan saat ini," ujar dia di Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Selain itu jika simplifikasi diterapkan, lanjut dia, maka akan ada pengurangan sejumlah industri rokok skala kecil yang ada saat ini.

"Saat ini kan ada 10 layer, ini sangat ideal diberlakukan di Indonesia, mengingat beragamnya jenis industri rokok, ada yang skala kecil, menengah dan besar," kata dia.‎