Â
Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa insentif pengurangan pajak hingga 300 persen atau disebut super deductible tax tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Super deductible tax tinggal tanda tangan Presiden dan diharapkan bisa langsung diimplementasikan," kata Airlangga dikutip dari Antara, Kamis (13/6/2019).
Advertisement
Melalui aturan tersebut, pemerintah akan mengatur tentang potongan pajak untuk industri yang berinvestasi bidang pusat penelitian dan pengembangan atau Research and Development (R&D center).
Baca Juga
"Kalau di Indonesia (potongannya) sampai 300 persen. Jadi bervariasi. Berdasarkan apanya nanti menunggu Peraturan Menteri Keuangan (PMK)," ujar Airlangga.
Menurut Airlangga, aturan super deduction tax akan dirampungkan bersamaan dengan potongan pajak untuk industri yang berkontribusi di bidang pendidikan vokasi.
"Super deduction akan diselesaikan bersaman dengan vokasi, sudah selesai, seluruh kementerian sudah sinkronisasi," ungkap Menperin.
Menperin menyampaikan, aturan yang diyakini terbit pada Semester I Tahun 2019 ini akan mendorong perusahaan industri untuk melakukan inovasi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sri Mulyani Akui Pelik Pungut Pajak di Era Digital
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengakui pemungutan pajak di era digital memang cukup pelik untuk dilakukan.Â
Namun, hal itu tak hanya berlaku pada Indonesia saja, melainkan fenomena global yang juga dirasakan oleh negara-negara besar di dunia seperti negara anggota G20.
"Saya ingin tegaskan tidak ada perlakuan perpajakan yang berbeda antara perusahaan konvensional dengan yang sifatnya perusahaan digital. Dalam pertemuan G20 ini kita sedang bahas bagaimana agar bisa untuk membuat kerangka perpajakan yang adil untuk meng-capturebisnis digital," tutur dia di Jakarta, Selasa (11/6/2019).Â
BACA JUGA
Melihat fenomena ini, Sri Mulyani mengungkapkan negara G20 meminta negara anggota OECD untuk melakukan kajian atas pemungutan pajak di era digital.
"Kegiatan bisnis digital itu bisnis modelnya berbeda dengan non digital karena mereka tidak harus memiliki BUT atau permanent establishment di suatu negara atau yurisdiction sehingga bisa beroperasi di lintas negara," ujarnya.
"Jadi itu yang membuat kesulitan karena basis pajak adalah kehadiran perusahaan secara fisik. Tapi perusahaan digital bisa lakukan tanpa buat cabang atau permanent establisment. Jadi ini tidak hanya di Indonesia saja. Sehingga kehadiran secara fisik tidak bisa lagi dijadikan acuan," Sri Mulyani menambahkan.
Advertisement