Sukses

RI Mulai Penyelidikan Tindakan Pengamanan Perdagangan Produk Impor Evaporator

Penyelidikan tersebut dilakukan berdasarkan atas permohonan PT. Fujisei Metal Indonesia pada 15 Mei 2019.

Liputan6.com, Jakarta Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) memulai penyelidikan tindakan pengamanan perdagangan (safeguards) atas lonjakan volume impor barang evaporator terhitung mulai tanggal 12 Juni 2019.

Penyelidikan tersebut dilakukan berdasarkan atas permohonan PT. Fujisei Metal Indonesia pada 15 Mei 2019, selaku industri dalam negeri yang memproduksi barang evaporator.

“Berdasarkan bukti awal pemohon, KPPI menemukan adanya lonjakan volume impor barang evaporator dan indikasi awal mengenai kerugian serius atau ancaman kerugian serius yangdialami industri dalam negeri,” ujar Ketua KPPI Mardjoko, seperti dikutip Jumat (14/6/2019).

Kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut terlihat dari beberapa indikator kinerja industri dalam negeri selama periode empat tahun terakhir.

Indikator tersebut antara lain meningkatnya kerugian, menurunnya volume produksi dan penjualan domestik, menurunnya kapasitas terpakai, berkurangnya jumlah tenaga kerja, serta menurunnya pangsa pasar industri dalam negeri di pasar domestik.

 

2 dari 3 halaman

Data BPS

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam empat tahun terakhir (2015—2018) volume impor barang evaporator terus meningkat dengan tren sebesar 8,56 persen.

Volume impor selama empat tahun terakhir masing-masing sebesar 2.911 ton, 3.407 ton, 4.594 ton, dan 3.465 ton dengan rata-rata kenaikan sebesar 3.300 ton per tahun.

Negara asal impor barang evaporator antara lain China, Thailand, Korea Selatan, dan Singapura. Impor barang evaporator terbesar berasal dari China dengan pangsa impor rata-rata per tahun sebesar 91,80 persen, diikuti Thailand 5,41 persen, Korea Selatan 1,20 persen, serta Singapura1,18 persen.

3 dari 3 halaman

Vietnam dan Malaysia Raup Untung dari Perang Dagang, Bagaimana Indonesia?

Saat ini berbagai negara sedang cemas karena perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Sementara, Vietnam berhasil meraup peluang ekonomi atas situasi yang terjadi.

Dalam perang dagang, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenakan tarif tambahan dari produk yang berasal dari China. Akibatnya, perusahaan mulai memindahkan rantai produksi mereka ke luar China demi menghindari tarif.

Fenomena ini disebut diversi dagang (trade diversion). Vietnam pun terkena imbas positifnya karena mendapat melonjaknya pesanan dari importir asal AS. Selain itu, negara itu juga menjadi tujuan relokasi pabrik ke luar China.

Itu berdasalkan hasil studi Nomura, perusahaan finansial asal Jepang. Sayang, Indonesia tidak muncul sebagai salah satu yang untung besar dari diversi dagang.

Bloomberg mencatat Pada kuartal awal 2019, keuntungan Vietnam dari diversi dagang setara dangan 7,9 persen GDP mereka. Taiwan menjadi "pemenang" kedua dengan mendapat hasil setara 2,1 persen GDP mereka.

Pada kuartal pertama 2019, barang impor Vietnam yang masuk AS naik 40 persen ketimbang periode sama tahun lalu. Sementara, impor China turun 13,9 persen.

Barang-barang Vietnam yang makin laku akibat perang dagang adalah seperti produk elektronik dan furnitur.

CNBC mencatat, importir dari pihak China juga mencari negara lain sebagai mitra selain AS. Alhasil, negara seperti Chili, Argentina, bahkan Malaysia juga mendapat imbas positif dari perang dagang. Pemimpin Malaysia, Mahathir Mohammad, juga menyadari keuntungan yang diraup negaranya.

Berikut produk-produk yang makin laku dari Vietnam, Malaysia, Taiwan, Chili, dan Argentina berkat perang dagang:

Lima negara yang ambil untung berkat perang dagang versi studi Nomura. Apa saja produk mereka yang makin laku?

1. Vietnam: komponen telepon, furnitur, mesin pengolah data otomatis

2. Taiwan: komponen typewriter, mesin kantor, komponen telepon

3 Chili: tembaga, bijih, kacang kedelai

4. Malaysia: sirkuit elektronik terintegrasi (electronic integrated circuit), perangkat semikonduktor

5. Argentina: kacang kedelai