Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) dinilai akan berhati-hati menetapkan suku bunga acuan atau BI 7 day reverse repo rate pada pertemuan yang digelar pekan depan. Hal ini mengingat masih ada sejumlah sentimen negatif yang pengaruhi pasar.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual menuturkan, peluang suku bunga acuan BI turun 50:50. Hal ini mengingat banyak pertimbangan baik dari domestik dan eksternal pengaruhi langkah BI.
"BI 7 day reverse repo rate turun masih 50:50. Banyak faktor pengaruhi. Dari domestik memang kondisi kita relatif baik dengan S&P menaikkan peringkat Indonesia sehingga membuat imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun turun," ujar David saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (15/6/2019).
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, inflasi Mei 2019 sebesar 0,68 persen relatif terkendali meski tinggi karena faktor musiman. Akan tetapi, David menyoroti defisit transaksi berjalan yang masih besar pada kuartal I 2019.
Tercatat defisit transaksi berjalan mencapai USD 7 miliar atau 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Diperkirakan defisit transaksi berjalan masih terjadi pada kuartal II 2019.
Ditambah cadangan devisa Mei 2019 turun USD 4 miliar jadi USD 120,3 miliar, menurut David juga menjadi pertimbangan.
Sedangkan dari eksternal yang bayangi keputusan penetapan suku bunga acuan, menurut David, faktor penyelesaian perang dagang juga menjadi perhatian pasar. Diharapkan pada pertemuan G20 pada akhir Juni ada kesepakatan perang dagang antara AS dan China.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump juga menyatakan kalau pihaknya akan menaikkan tarif impor produk China bila Presiden China Xi Jinping tidak mau hadir dalam pertemuan G20.
Dari sentimen eksternal lainnya yaitu ketegangan di Timur Tengah membuat harga minyak menguat
Sentimen tersebut membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah. "Pada penutupan Jumat (kemarin-red) rupiah di kisaran 14.300 per dolar AS. Rupiah masih volatile ke depan,” kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Menanti Langkah The Fed
Meski demikian, David menilai, peluang suku bunga acuan turun juga besar. Namun, hal itu tergantung dari keputusan The Fed pada pekan depan pada 18-19 Juni 2019.
Di pasar berjangka AS, Fed Fund Rate atau suku bunga acuan the Fed diprediksi turun kemungkinan di bawah 40 persen pada Juni. Akan tetapi, kemungkinan penurunan suku bunga pada Juli dan Agustus meningkat. Bahkan prediksi pada September dapat mencapai hampir 100 persen.
"The Fed turunkan suku bunga acuan, BI bisa turunkan suku bunga acuan," kata David.
David prediksi, jika BI pangkas suku bunga acuan, penurunannya sekitar 25 basis poin (bps). Hingga akhir 2019, diprediksi suku bunga acuan BI bisa turun capai 50 bps.
Namun, David menilai BI harus hati-hati turunkan suku bunga acuan. Hal ini mengingat dampaknya terhadap pergerakan rupiah.
"Harus hati-hati dan lihat konsekuensi serta kepercayaan pasar. Kalau salah langkah rupiah akan volatile. Kita juga masih butuh pasokan dana mengingat tidak terlalu berharap banyak pada ekspor karena pertumbuhan ekonomi global melemah," kata David.
Sementara itu, dalam laporan PT Ashmore Assets Managemen Indonesia mengharapkan kalau BI tetap waspada dan melihat bagaimana arah kebijakan bank sentral AS atau the Federal Reserve. Meskipun sejumlah bank sentral negara lain telah memangkas suku bunga acuan.
Ashmore memandang kalau perang dagang antara AS-China menekan harga dan permintaan komoditas yang merupakan ekspor andalan Indonesia.
Selain itu, berdasarkan konsensus, Indonesia masih akan catatkan defisit perdagangan dan ekspor tetap rendah sedangkan impor stabil. "Ini alasan utama mengapa kami berharap BI menunggu arahan the Fed,” seperti dikutip dalam catatan Ashmore, seperti dikutip dari laporannya.
Akan tetapi, keputusan lembaga pemeringkat internasional S&P menaikkan peringkat utang Indonesia dapat menjadi pertimbangan. Peningkatan peringkat kredit pada obligasi negara menghasilkan arus dana asing masuk.
Namun, sejak S&P meningkatkan peringkat Indonesia pada 31 Mei, Ashmore belum melihat aliran dana besar-besaran di pasar obligasi.
Advertisement
Selanjutnya
Ada sejumlah faktor yang membuat aliran dana investor asing masuk lambat dan kecenderungan jeluar.
Pertama, jarak imbal hasil obligasi pemerintah AS dan Indonesia. Sebelum kenaikan peringkat S&P, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun sekitar 8,05 persen dan AS sekitar 2,21 persen. Ketika usai libur Lebaran, imbal hasil obligasi Indonesia menjadi 7,73 persen dan surat berharga AS menjadi 2,15 persen.
"Rata-rata historis surat berharga bertenor 10 tahun untuk Indonesia terhadap AS adalah 533 basis poin. Ini menyisakan lebih banyak ruang tetapi tidak cukup untuk prospek global yang berisiko," tulis Ashmore.
Kedua, ada harapan BI akan memangkas suku bunga acuan sebelum the Fed. Terlepas dari dampak S&P memburuknya data AS mengakibatkan ada harapan di Indonesia penurunan suku bunga acuan BI pada pekan depan.
"Kami melihat jika ini terjadi ada beberapa ruang untuk penurunan di pasar obligasi dan saham," tulis Ashmore.
Sementara itu, Analis PT Investa Saran Mandiri, Hans Kwee menilai, penurunan suku bunga acuan BI tergantung dari langkah the Fed. Bank sentral AS itu, menurut Hans berpeluang turunkan suku bunga acuan. Apalagi data ekonomi AS kurang menggembirakan terutama dari data tenaga kerja.
"Ada peluang BI turunkan suku bunga acuan. Ini inflasi rendah," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Dengan peluang penurunan suku bunga acuan, Hans melihat hal itu berdampak positif untuk sektor saham bank dan properti. Hal ini karena turunkan biaya.
Sebelumnya BI 7 day reverse repo rate berada di kisaran 6 persen pada 16 Mei 2019. Posisi ini bertahan sejak 15 November 2018. BI menaikkan suku bunga acuan saat itu 25 bps dari 5,75 persen pada 23 Oktober 2018 menjadi 6 persen pada November 2018.