Sukses

Sri Mulyani Ingin Bayar Pajak Semudah Beli Pulsa

Penyederhanaan pembayaran pajak menjadi kunci penting dalam meningkatkan tax ratio.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menginginkan cara pembayaran pajak lebih mudah dibandingkan membeli pulsa telepon. Hal ini dalam rangka mendorong peningkatan tax ratio. Menurutnya, sistem pembayaran pajak yang mudah akan membuat wajib pajak lebih patuh.

"Kepatuhan perpajakan adalah fungsi dari mudahnya membayar pajak. Saya bilang sama Pak Robert dan timnya. Saya ingin membayar pajak lebih mudah dari beli pulsa telepon, kalau beli pulsa dalam semenit kita bisa pakai mobile banking harusnya bayar pajak lebih mudah lagi," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/6/2019).

Sri Mulyani mengatakan, penyederhanaan pembayaran pajak menjadi kunci penting dalam meningkatkan tax ratio. Tidak hanya itu, pengawasan dan penegakan hukum juga tidak kalah penting untuk terus ditingkatkan.

"Makanya reform di bidang administrasi dan proses itu menjadi penting, bagaimana disederhanakan, bagaimana proses untuk complience, pembayaran. Di luar itu kami tetap melakukan enforce complience. Terutama pengawasan dan penegakan hukum namun ini dilakukan berdasarkan risiko dari penerimaan perjalanan dan profil dari tax payer," paparnya.

Sementara itu, dari sisi penyederhanaan administrasi perpajakan, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Bea dan Cukai sudah melakukan berbagai terobosan. Satu di antaranya melalui optimalisasi penyampaian informasi melalui media digital.

"Terobosan dari sisi administrasi perpajakan, ini adalah 3 hal termasuk optimalisasi media digital, mobile tax unit kita perbaiki bisnis prosesnya, dan juga perbaikan dalam pembayaran pajak atau tax," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Sri Mulyani Akui Pelik Pungut Pajak di Era Digital

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengakui pemungutan pajak di era digital memang cukup pelik untuk dilakukan. 

Namun, hal itu tak hanya berlaku pada Indonesia saja, melainkan fenomena global yang juga dirasakan oleh negara-negara besar di dunia seperti negara anggota G20.

"Saya ingin tegaskan tidak ada perlakuan perpajakan yang berbeda antara perusahaan konvensional dengan yang sifatnya perusahaan digital. Dalam pertemuan G20 ini kita sedang bahas bagaimana agar bisa untuk membuat kerangka perpajakan yang adil untuk meng-capturebisnis digital," tutur dia di Jakarta, Selasa (11/6/2019). 

Melihat fenomena ini, Sri Mulyani mengungkapkan negara G20 meminta negara anggota OECD untuk melakukan kajian atas pemungutan pajak di era digital.

"Kegiatan bisnis digital itu bisnis modelnya berbeda dengan non digital karena mereka tidak harus memiliki BUT atau permanent establishment di suatu negara atau yurisdiction sehingga bisa beroperasi di lintas negara," ujarnya.

"Jadi itu yang membuat kesulitan karena basis pajak adalah kehadiran perusahaan secara fisik. Tapi perusahaan digital bisa lakukan tanpa buat cabang atau permanent establisment. Jadi ini tidak hanya di Indonesia saja. Sehingga kehadiran secara fisik tidak bisa lagi dijadikan acuan," Sri Mulyani menambahkan.