Sukses

Pengamat: Tiket Pesawat Mahal Imbas Maskapai Fokus Kejar Keuntungan

Pengamat AIAC, Arista Atmadjati, juga menepis dugaan banyak pihak anggap kartel dan duopoli sebabkan kenaikan harga tiket pesawat.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC), Arista Atmadjati, menilai tingginya harga tiket pesawat saat ini salah satunya disebabkan oleh pihak maskapai dalam negeri yang mengejar keuntungan. Hal ini dilakukan demi menambal kerugian pada tahun-tahun sebelumnya.

Dia pun menepis dugaan banyak pihak yang menganggap praktik kartel dan duopoli perusahaan penerbangan besar, yakni Lion Air Group dan Garuda Group, sebagai penyebab kenaikan harga tiket pesawat.

Adapun berdasarkan data yang dihimpun pada 2017, sektor industri penerbangan nasional sebesar 96 persen memang hanya dikuasai oleh dua grup maskapai, yakni Lion Air Group (50 persen) dan Garuda Group (46 persen).

"Tapi bukan pengaruh kartel atau duopoli. Itu karena semua serempak main tarif di batas atas untuk menghapus kerugian 2-3 tahun sebelumnya," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (19/6/2019).

Lebih lanjut, ia menceritakan, maskapai penerbangan berbiaya rendah atau Low Cost Carrier (LCC) seperti Lion Air mulai terlahir sejak 2001 dan terus berkembang baik hingga 2018.

Namun, tak sedikit perusahaan yang kemudian mati akibat faktor perang harga antar maskapai lokal, antara lain Adam Air, Merpati Air, hingga Batavia Air.

"Ini akibat salah satunya perang harga. Juga melihat kinerja keuangan maskapai tahun 2016, 2017, 2018, mayoritas rapornya masih merah," ujar dia.

Oleh karena itu, Arista mengatakan, seluruh maskapai di Indonesia sejak Januari 2019 menjual tiket pesawat di batas atas serta menawarkan single class tanpa varian harga seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Ini yang diterima masyarakat. Harga naik tidak sama seperti tahun 2018 lalu. Kenapa terjadi? Karena semua maskapai di Indonesia tahun 2019 menargetkan mulai meraih profit, dan harga yang di-set up masih dalam koridor tarif batas atas PM Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019," ucapnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Kehadiran Maskapai Asing Tak Jamin Harga Tiket Pesawat Turun

Terkait inisiatif mengundang maskapai asing masuk ke dalam negeri, dia juga tidak menjamin itu akan menurunkan harga tiket pesawat lantaran secara syarat terbilang berat.

"Sesuai UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009, mereka hanya boleh memiliki saham maksimal 49 persen, harus berbadan hukum Indonesia, harus mulai terbang rute perintis," terangnya.

"Jadi menurut saya, mereka akan pikir-pikir masuk. Sebagai contoh juga ada airlines asing yang sudah gagal (di Indonesia), yakni Mandala Air dan Tiger Air yang bangkrut. Air Asia juga merugi mulu," dia menandaskan.

3 dari 3 halaman

Kehadiran Maskapai Asing Bisa Picu Pelemahan Rupiah

Sebelumnya, isu mengenai kebijakan pemberian maskapai asing menerbangi rute domestik di Indonesia dinilai ekonom bukan satu kebijakan yang pas. Karena kebijakan ini hanya akan menimbulkan masalah baru ke depannya.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini mengatakan upaya memasukan maskapai asing ke pasar domestik sebagai sebuah langkah putus asa dari pemerintah.

"Sekarang industri ini mengalami masalah. Akar masalahnya persaingan tidak sehat. Cara gampang ya masukkan asing. Itu kebijakan instan, tapi menimbulkan masalah lain terhadap perekonomian," kata dia di Jakarta, Selasa, 18 Juni 2019.

Menurut dia, tidak ada negara lain yang mau memberikan pasar penerbangan domestiknya untuk maskapai asing. Bila itu dilakukan, maka dapat berindikasi memperburuk situasi ekonomi dalam negeri.

"Jika itu dilakukan, maka keuntungan perusahaan asing dan berbagai transfer outflow lainnya akan memperparah neraca jasa dan neraca berjalan kita yang sudah berat. Rupiah akan terus lemah," kata dia.

Dia mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan pemerintah RI untuk menyelesaikan tarif tiket pesawat dengan cara yang lebih bijak.

Didik pun menyoroti, kondisi saat ini persis seperti yang terjadi pada era sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dengan indikasi praktik kartel sangat kuat, tapi dibiarkan.

"Memang tidak mudah untuk melawan praktik kartel ini. Dengan kerja keras pun tidak mudah menemukan, apalagi cuma melongo Watchdog seperti sekarang," pungkas dia.