Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kini tengah mengkaji pengembangan moda transportasi baru yang menggabungkan konsep bus dengan jalur khusus seperti rel kereta, yakni O-Bahn.
Rencananya, transportasi ini akan dibangun di wilayah-wilayah yang selama ini belum memiliki angkutan massal yang efektif.
Namun begitu, Pengamat Transportasi sekaligus Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menyatakan, pengadaan O-Bahn cukup menjadi wacana saja. Ini lantaran pemerintah dinilainya belum siap, terutama soal ketersediaan dana.
Advertisement
Baca Juga
"Wacana Kemenhub untuk mengoperasikan O-Bhan sebagai transportasi umum untuk mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia dengan konsep smart city lebih baik diabaikan saja. Keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah menjadi pertimbangannya," tuturnya kepada Liputan6.com, Senin (24/6/2019).
Selain pertimbangan biaya yang tidak sedikit, ia menambahkan, berbagai pihak utamanya Pemerintah Daerah (Pemda) belum tentu mau menerima konsep transportasi tersebut.
"Apalagi regulasi untuk menerapkannya belum ada. Bisa jadi masalah baru jika belum dilengkapi dengan regulasi," tegas dia.
Oleh karenanya, ia mengatakan pembangunan O-Bahn tak perlu dilanjutkan untuk ke depannya. Terlebih ongkos pengadaan teknologinya pun juga memakan banyak biaya.
"Teknologi yang tidak murah, masih asing di Indonesia, butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. Untuk lima tahun ke depan cukup sebagai wacana saja," pungkas Djoko.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jokowi Minta Integrasi Pengelolaan Transportasi Jabodetabek Selesai 3 Bulan
Presiden Jokowi memimpin rapat terbatas Lanjutan Pembahasan Kebijakan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Bambang Prihartono yang hadir dalam ratas mengatakan ada dua hal yang dibahas, di antaranya pengelolaan transportasi Jabodetabek secara terintegrasi.Â
"Pertama adalah integrasi. Kalau bicara integrasi kan ada entitas. Siapa entitas ini, yang melaksanakan itu," jelas Bambang di Istana Kepresidenan, Jakarta Selasa (19/3/2019).
Bambang menyebut siapa entitas yang akan mengelola transportasi Jabodetabek belum diputuskan. Namun, diwacanakan yang bakal mengelola transportasi Jabodetabek adalah Pemprov DKI Jakarta.
Jokowi sendiri, kata Bambang, telah memberikan tenggat waktu selama tiga bulan kepada bawahnnya untuk segera menentukan pengelola transportasi Jabodetabek.
"Presiden minta waktunya 3 bulan, dari sekarang jadi baru Juni," ucap dia.
Dia melanjutkan, penentuan pihak pengelola transportasi Jabodetabek akan dibahas kembali bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Tadi belum putus karena masih akan dibahas oleh Pak Wapres," ujar dia.
Bambang menjelaskan, penetapan pengelola transportasi Jabodetabek harus memperhatikan amanat Undang-undang.
"Entitas ini harus bisa fleksibel, jangan entitas ini terikat sama regulasi yang ada, karena transportasi ini kan wilayah. Jadi perlu ada satu entitas baru dalam rangka mengintegrasikan antar moda antar wilayah," terang dia.
Dalam arahannya, Jokowi sebelumnya meminta kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah menghilangkan ego sektoral dalam pengelolaan transportasi Jabodetabek.
Jokowi ingin kepentingan transportasi nasional diletakkan di atas kepentingan institusi.
"Tidak ada lagi yang namanya ego sektoral, ego kementerian, ego daerah. Saya kira semuanya yang ada adalah kepentingan nasional," tegas mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Advertisement
Strategi Pemerintah Benahi Transportasi Jabodetabek
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menugaskan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk mengkoordinasi antara pemerintah provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan pemerintah pusat terkait pengintegrasian transportasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).Â
"Semua tranportasi bukan hanya DKI, di Jawa Barat, satu kota begitu jangan dipisah-pisah. Jadi satu. Jadi penanganan MRT, LRT, apa semua itu satu. Supaya memudahkan penanganan. Masih dirumuskan teknis, nanti pak Wapres yang memimpin pertemuan itu," kata Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut dia, penanganan transportasi di wilayah Jabodetabek tidak akan lagi berada di bawah Kementerian Perhubungan, dalam hal ini Badan Pengatur Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
"Berikan saja ke Gubernur. Karena Presiden pernah alami waktu jadi Gubernur betapa kompleksnya itu," ungkapnya.
"(Tidak lagi oleh BPTJ?) Iya biar satu saja yang kelola. Tapi lagi dikaji teknisnya bagaimana. Tadinya dibuat organisasi baru seperti di Singapura ternyata tidak jalan. Sekarang kasih saja penuh. Kira-kira begitu," ujarnya.
Mantan Kepala Staf Kepresidenan ini pun meyakini, pelimpahan tanggung jawab tersebut tidak akan membebani Pemerintah Provinsi secara finansial.
"Yang ada sekarang dikasihkan semua, biar DKI (yang mengatur). DKI duitnya juga banyak. Tahun ini Rp 11 triliun sisa anggarannya," tandas Luhut.
Perbaikan Sistem Transportasi Jabodetabek Butuh Dana Rp 600 Triliun
Transportasi menjadi salah satu kebutuhan utama warga di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Namun, transportasi yang tersedia saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan banyak orang.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) tengah menyiapkan rencana besar untuk membenahi transportasi di Jabodetabek. Di mana akan ada banyak proyek transportasi yang akan dibangun dan dikembangkan dalam rentang waktu 2018 hingga 2029.
Kepala BPTJ, Bambang Prihartono mengungkapkan, rencana tersebut telah tertuang dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang RITJ.
"Jadi jelas BPTJ harus melakukan apa acuannya ada di dalam RITJ. Dalam RITJ, itu sudah jelas kegiatannya apa saja. kemudian kegiatannya itu apa saja, mulai kapan berakhir kapan. bahkan tidak hanya itu, penanggung jawabnya siapa," kata Bambang di Jakarta, Jumat (14/12/2018).
Rencana tersebut tentu membutuhkan dana tidak sedikit. Mengingat Jabodetabek merupakan lingkup yang luas dengan pergerakan sangat padat mencapai 50 juta pergerakan setiap harinya.
Bambang menyebut bahwa dana dibutuhkan untuk membenahi dan membangun transportasi Jabodetabek mencapai Rp 600 triliun. Pihak yang terlibat pun tak sedikit, mulai dari Pemda Jabodetabek, Kemenhub dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Tujuan RITJ itu bukan hanya kementerian pusat saja atau bukan hanya BPTJ saja. Tetapi juga ada kementerian lainnya, Kementerian PUPR jalan tol, bahkan pemerintah juga ada pemerintah daerah ada tanggung jawabnya pemerintah kota dan kabupaten. Di situ jelas saya kira," ujarnya.
Advertisement