Sukses

Petani Keluhkan Harga Sawit Anjlok Akibat Pungutan Ekspor CPO

Pungutan ekspor CPO tengah dihentikan sementara dan rencananya akan kembali diberlaku pada 1 Juli mendatang.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) menyambut baik langkah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang akan mempelajari permintaan petani untuk mencabut pungutan ekspor CPO. Hal tersebut merupakan hasil dari pertemuan APPKSI dengan perwakilan Kemenko Kemaritiman, Selasa 25 Juni 2019, kemarin.

Sekretaris Jenderal APPKSI Arifin Nur Cahyono mengatakan, kedatangan APPKSI ke kantor Kemenko Maritim diterima oleh Sekretaris Menko Kemaritiman.

Dalam pertemuan tersebut, APPKSI meminta pemerintah untuk penghapuskan pungutan ekspor CPO. Saat ini pungutan tersebut tengah dihentikan sementara. Namun rencananya akan kembali diberlaku pada 1 Juli mendatang.

"Kami sampaikan bahwa kami menolak perberlakuan kembali pungutan itu. Kalau bisa dihapus saja," ujar dia di Jakarta, Rabu (26/6/2019).

Arifin menyatakan, alasan petani kelapa sawit menolak diberlakukan kembali pungutan tersebut karena berpotensi membuat harga kelapa sawit di tingkat petani anjlok.

"Alasannya karena jatuhnya harga TBS (tanda buah segar) sawit. Ini yang merasakan ini para petani plasma. Pungutan ini juga tidak ada gunanya juga untuk petani plasma. Ini tidak sesuai dengan UU perkebunan dan rawan penyelewengan," jelas dia.

Padahal, lanjut Arifin, saat ini harga TBS kelapa sawit sudah mulai merangkak naik. Meski kenaikan tersebut masih belum sesuai dengan harapan para petani.

"Sekarang masih merangkak naik, belum stabil. Petani plasma belum sepenuhnya merasakan kenaikan. Jadi kalau itu diberlakukan maka akan menekan harga lagi," ungkap dia.

Menurut Arifin, pihak Kemenko Kemaritiman telah berjanji untuk mempelajari lebih jauh mengenai tuntutan para petani ini. Bahkan, kata dia, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan akan kembali memanggil para petani guna membahas masalah ini.

"Pak Luhut berjanji akan concern masalah petani ini. Karena dari awal beliau sudah concern sekali. Dia berjanji untuk kembali memanggil kita dari petani, akan membuka mediasi. Tapi beliau harus mempelajari dulu masalahnya. Sejauh ini kami menunggu untuk diundang lagi," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Ada Kampanye Hitam CPO, Neraca Dagang RI Tetap Surplus ke Eropa

Uni Eropa (UE) terus mengkampanyekan negatif kelapa sawit asal Indonesia. Hal ini pun menuai berbagai reaksi dari pemerintah, petani dan pengusaha karena dianggap akan mengganggu ekspor Indonesia.

Meski demikian ternyata Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia terhadap UE tidak berubah signifikan. Ini setelah Komisi Eropa meloloskan kebijakan pelarangan penggunaan minyak kelapa sawit.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, secara umum neraca perdagangan Indonesia ke kawasan tersebut masih mencatatkan surplus sebesar USD 587 juta, sejak awal tahun hingga Maret 2019.

Ekspor tercatat sebesar USD 3,6 miliar sementara impor USD 3,02 miliar. "Secara umum neraca perdagangan kita masih positif," ujar Suhariyanto saat memberi keterangan pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Jumat (15/4/2019).

Walapun demikian, kampanye hitam sawit memberi pengaruh pada neraca dagang per negara kawasan Eropa. Misalnya, dengan Inggris, perdagangan Indonesia harus mengalami penurunan sebesar 22 persen serta Belanda 39 persen.

"Demikian juga Jerman, Italy, Spanyol, Russia juga turun. Kita tahu terjadi karena negative campaign CPO (Crude Palm Oil). Saya yakin pemerintah sudah antisipasi dengan membuat berbagai kebijakan," tandasnya.

3 dari 4 halaman

Indonesia Bakal Manfaatkan Minyak Sawit Jadi Bensin dan LPG

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  bekerjasama Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB), meneliti pemanfaatan minyak sawit untuk bahan bakar jenis bensin (gasolin) maupun Liquified Petroleum Gas (LPG).

Selain dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar minyak jenis solar. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, mengatakan, Indonesia yang pertama mengembangkan sawit untuk bensin melalui co-prosessing.

Minyak sawit dicampurkan ke kilang dengan proses cracking, menggunakan katalis Merah Putih, yang juga merupakan produksi anak bangsa, dan akan menghasilkan bensin dan LPG di akhir proses.

Pemanfaatan sawit untuk bensin ini juga telah dilakukan di beberapa negara seperti di Amerika Serikat, Italia, dan UEA. Namun, yang dikembangkan di negara-negara tersebut adalah membuat pabrik baru yang dapat mengolah langsung sawit dengan bensin sebagai salah satu produknya. 

"Yang mereka kembangkan bukan co-prosessing, tapi standalone, dari sawit menghasilkan bensin. Untuk co-processing ini kita yang pertama," kata Dadan, dikutip situs resmi Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (15/4/2019).

Dadan menuturkan, kelebihan lain dari co-prosessing ini masih dapat menggunakan kilang yang sudah Beroperasi (exsisting). Jadi lebih hemat dalam proses produksinya. 

"Yang digunakan adalah kilang eksisting, hanya ditambahkan proses di tengahnya untuk menghasilkan bensin dan LPG," imbuh Dadan.

Terkait harga, bensin dari minyak sawit ini nantinya masih akan tergantung dari harga bahan baku sawitnya.

"Ada mekanisme yang saling menguntungkan pastinya, bisa melalui intensif atau bentuk lain, karena kita tahu hingga saat ini di lapangan kita tahu kalau harga minyak goreng selalu lebih mahal dari bahan bakar," tandasnya.

4 dari 4 halaman

Pemerintah Kebut Peremajaan Kelapa Sawit

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menggelar rapat koordinasi mengenai Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit. Rapat ini dihadiri oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Hasil rapat memutuskan pemerintah akan melakukan percepatan program peremajaan sawit rakyat (PSR) atau replanting. Hal tersebut menjadi penting dilakukan melihat masih rendahnya realisasi dari target 200.000 hektare (ha).

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengakui bahwa angka realisasi PSR masih rendah. Bahkan, memasuki bulan ketiga 2019 pihaknya baru menerbitkan rekomendasi teknis (rekomtek) seluas 16.000 ha.

"Realisasi baru sedikit. Sampai bulan ini, (rekomtek yang diterbitkan) baru 16.000 ha dari 200.000 ha. Makanya perlu percepatan," ujar Kasdi saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019.

Hingga kini sudah banyak petani kelapa sawit yang mengajukan lahannya untuk dilakukan replanting. Berdasarkan data Kementan, surat pengajuan petani sudah melebihi kuota target program PSR tahun ini.

Namun, untuk memberikan rekomtek, Kementan perlu melakukan verifikasi terlebih dahulu surat perizinan mengenai lahan kelapa sawit petani. "Kalau dokumennya ada cepat. cepat itu artinya sehari juga selesai. Ini kan masalahnya kurang dan sebagainya," tandasnya.