Liputan6.com, Jakarta - Dana pungutan ekspor crude palm oil atau minyak kelapa sawit (CPO) belum dirasakan manfaatnya oleh pada petani.
Selama ini, dana tersebut dinilai lebih banyak dimanfaatkan untuk menyubsidi program biodiesel dengan campuran CPO.
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto mengatakan, ‎sejak dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) pada 2015, telah terkumpul dana kurang lebih sekitar Rp 43 triliun dari potongan penjualan ekpor CPO.‎ Namun, sayangnya pengunaan dana tersebut dinilai tidak banyak memberikan dampak kepada petani sawit.
Advertisement
"Karena dana pungutan sawit lebih banyak digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel," ujar dia di Jakarta, Jumat (28/6/2019).
Baca Juga
Dia menuturkan, total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 38,7 triliun dalam periode 2015-2019 atau rata-rata insentif mencapai Rp 7 triliun-Rp 8 triliun per tahun.Â
"Sementara untuk petani disalurkan melalui dana replanting hanya sekitar Rp 702 miliar sampai dengan tahun 2018 atau sekitar 1,6 persen,"Â ujar dia.
Selain dari sisi pengunaanya, pungutan dana sawit selama ini juga tidak berdampak secara signifikan kepada kesejahteraan para petani.‎
Hal ini karena dengan pungutan USD 50 per ton, harga tandan buah segar (TBS) petani telah mengalami penurunan sekitar Rp 120-150 per kg.Â
"Karena itu, dapat dikatakan pengunaan dana sawit selama ini alokasinya salah kaprah. Sehingga penyetopan pungutan dana sawit  yang sudah berjalan dari Desember tahun 2018 sampai dengan saat ini belum tepat untuk diberlakukan kembali sebelum masalah yang ada saat ini dibenahi," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Petani Sawit Minta Pungutan Ekspor CPO Kembali Berlaku
Sebelumnya, Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa SawitIndonesia (APKASINDO) meminta pemerintah untuk melanjutkan kebijakan pungutan ekspor sawit.
Ketua Umum DPP APKASINDO Gulat ME Manurung mengatakan, dana pungutan telah dirasakan petani melalui berbagai kegiatan seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), beasiswa anak petani serta buruh sawit, dan pelatihan kompetensi petani.
"APKASINDO tegaskan pungutan ekspor harus dipertahankan. Karena program ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nasional serta daerah," ujar dia di Jakarta, Jumat, 28 Juni 2019.
Dia menilai pungutan sangat berdampak positif bagi petani. Sejak pertengahan 2015, dana pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sangat bermanfaat bagi para petani khususnya.
Sebagai contoh, ada 10 ribu petani sawit Apkasindo di 22 provinsi dan 116 Kabupaten/Kota yang mendapatkan pelatihan teknis berkebun.
Terkait program beasiswa, ada 1.500 anak-anak petani di 22 provinsi menerima beasiswa pendidikan D1 dan D3 sawit di Instiper Yogyakarta dan Poltek Sawit CWE.
Selain itu, dana pungutan juga dimanfaatkan bagi pengembangan riset dan kegiatan promosi sawit di dalam serta luar negeri.
Adapula lebih dari 50 ribu hektar lahan petani sudah mendapatkan hibah Rp25 juta per hektare untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Yang harus dicatat, PSR ini kebijakan strategis pemerintahan Joko Widodo dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani. Program tersebut dapat terjadi karena Presiden menerbitkan Perpres 61 Tahun 2015 dan berdirinya BPDP-KS. Selama negara ini berdiri, belum ada kebijakan strategis seperti itu," tegas dia.
Gulat juga membantah pernyataan yang menyebut jika pungutan ekspor menjadi biang keladi turunnya harga tandan buah segar (TBS) sawit petani belakangan ini. Itu sebabnya, pungutan ekspor perlu diberlakukan kembali walaupun besarannya perlu disesuaikan.
"Sebab lagi-lagi saya katakan, PE (pungutan ekspor) tidak ada kaitannya dengan penurunan harga TBS petani," kata dia.
Â
Advertisement
Ditunda Sejak 2018
Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo, Rino Afrino mengungkapkan, pungutan ekspor sawit telah ditunda penerapannya sejak Desember 2018. Artinya sampai hari ini tidak ada pungutan yang dilakukan pemerintah.
Namun apa yang terjadi, harga TBS sempat bergerak naik sampai Februari 2019 dan selanjutnya menukik turun sampai hari ini. "Jadi tidak ada relevansinya antara pungutan ekspor dengan harga TBS yang rendah belakangan ini" ungkap dia.
Menurut dia, yang membuat harga TBS petani terus melorot justru mekanisme teknis perhitungan harga dan tata niaga TBS di lapangan yang rancu. "Sudah rancu, penerapan sanksi pun tidak ada," lanjut dia.
Padahal, lanjut dia, dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 Tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun sudah memiliki aturan main yang jelas.
Rino mencontohkan dalam Pasal 4 Permentan dikatakan perusahaan perkebunan membeli TBS pekebun/petani mitra melalui kelembagaan pekebun.
"Ini artinya, pabrik mesti membeli dari kelembagaan petani dan harus ada kemitraan. TBS tidak dibeli dari tengkulak atau pengepul. Namun kenyataan di lapangan malahan pengepul dan tengkulak yang merajai," tandas dia.
Â