Liputan6.com, Jakarta - Tarif Tenaga Listrik (TTL) dinilai seharusnya mengalami penurunan. Hal tersebut didorong oleh penguatan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), penurunan harga minyak Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP) dan kestabilan inflasi pada beberapa waktu belakangan ini.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Gajah Mada Fahmi Radhi mengatakan, ada tiga variabel yang dijadikan acuan untuk menetapkan tarif listrik yaitu Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan kurs rupiah terhadap dolar AS, serta harga energi primer.
"Penyesuaian tarif listrik otomatis itu berdasarkan variabel penentu tersebut, bisa menyebabkan tarif listrik naik, tetapi bisa pula tarif listrik turun dibanding tarif listrik sebelumnya, tergantung dari besaran variabel penentu tersebut," kata Fahmi, di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Fahmi, jika mencermati Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik pada saat ini, semua acuan penentu itu menurunkan besaran BPP listrik. Di antaranya, kurs tengah rupiah terhadap dolar AS selama Juli 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp 14.148 per satu dolar AS lebih kuat ketimbang asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 dan RKAP PLN yang ditetapkan sebesar Rp 15 ribu per dolar AS.
ICP juga cenderung turun pada kisaran USD 61 per barel, lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan sebesar USD 70 per barel. Sedangkan inflasi Juli diprediksikan juga rendah, diramalkan hanya 0,12 persen per bulan atau sekitar 3,12 persen secara rahun ke tahun sepanjang 2019.
"Selain ketiga indikator itu, biaya energi primer yang menentukan Harga Pokok Produksi (HPP) listrik cenderung tetap, bahkan beberapa beberapa harga energi primer mengalami penurunan," tambahnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Dia mengungkapkan, berdasarkan kecenderungan penurunan ICP, penguatan kurs rupiah terhadap dolar AS, dan stabilitas inflasi, penurunan harga energi primer, utamanya harga batu bara dan gas, serta efisiensi yang dilakukan PLN selama ini, maka BPP listrik mestinya mengalami penurunan yang signifikan.
Dengan penurunan BPP listrik itu, penetapan tarif dengan menggunakan skema tidak tetap atau adjustment tarif mestinya akan menurunkan tarif listrik pada 2020.
"Turunnya tarif listrik pada 2020 akan memberikan berbagai manfaat bagi konsumen dan perekonomian Indonesia. Beban pengeluaran konsumen akan menurun, sehingga bisa menaikkan daya beli masyarakat, yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia," tandasnya.
Advertisement
Pasokan Listrik Jawa Bali Bakal Bertambah 2.000 MW
PT PLN (Persero) memastikan pasokan listrik Jawa Bali akan bertambah 2 ribu Mega Watt (MW). Ini seiring dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 berkapasitas 2x1000 MW mulai Oktober 2019. Saat ini Pembangunan Pembangkit tersebut sedang dikebut.
Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Barat PLN Haryanto W.S mengatakan, PLTU Jawa 7 yang rencananya akan mulai beroperasi secara komersial untuk mendukung pasokan sistem Jawa - Bali pada Oktober 2019 untuk unit pertama dan April 2020 untuk unit ke dua.
“PLTU Jawa 7 merupakan bagian dari perwujudan nyata program pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan 35 ribu MW, kita harapkan pengoperasian PLTU Jawa 7 akan menjadi kado bagi masyarakat Indonesia,” Kata Haryanto, di Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Haryanto melanjutkan, salah satu rangkai pengoperasian PLTU Jawa 7 adalah peresmian terminal batubara. Infrastruktur ini menjadi titik krusial dalam percepatan pembangunan PLTU Jawa 7.
“Dengan adanya terminal batubara ini, maka dapat segera dilakukan berbagai rangkaian performance tes seperti Realibility Run Test, Boiler Test hingga mendapat Sertifikat Laik Operasi (SLO), sehingga mempercepat proses menuju COD," jelas Haryanto.
PLTU Batu Bara Terbesar
PLTU Jawa 7 akan menjadi PLTU Batubara terbesar dan pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi boiler Ultra Super Critical (USC), dengan bahan bakar batu bara Low Rank yang memiliki nilai kalor 4000 hingga 4600 kCal per kg, dengan mengkonsumsi sekitar 7 juta ton per tahun bila sudah beroperasi 2 unit.
Teknologi USC dapat meningkatkan efisiensi pembangkit 15 persen lebih tinggi dibandingkan non USC sehingga menurunkan biaya bahan bakar per kWh. Selain itu, PLTU Jawa 7 dalam operasinya menggunakan Sea Water Fuel Gas Desulfurization (SWFGD), sehingga sangat ramah lingkungan karena penyaluran batubara dari tongkang, menggunakan coal handling plant sepanjang 4km sehingga tidak ada batubara yang tercecer hingga coal yard.
PLTU Jawa 7 resmi dimulai Pembangunan fisiknya pada 5 Agustus 2017 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), hingga saat ini progress pembangunan pembangkit unit 1 mencapai 99,08 persen per Mei 2019. Nantinya daya pembangkit akan disalurkan untuk memperkuat sistem interkoneksi Jawa-Bali melalui jaringan Suralaya-Balaraja 500 kV.
Diharapkan segala proses pembangunan PLTU Jawa 7 kedepannya dapat berjalan lancar sehingga mendukung PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik pelanggan sekaligus menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Advertisement