Sukses

Pemerintah Mulai Waspadai Kemarau Panjang

Pemerintah tengah mengantisipasi terjadinya kemarau panjang yang diperkirakan terjadi hingga September

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah mengantisipasi terjadinya kemarau panjang yang diperkirakan terjadi hingga September, dan puncaknya pada Agustus. Karena hal ini bisa memicu kenaikan inflasi.

Adapun wilayah yang terancam terdampak kekeringan tmenurut informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terjadi di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) akan mengantisipasi tejadinya kemarau panjang tersebut. Sebab, apabila dibiarkan akan berdampak pada produksi pangan dan mengakibatkan terjadinya inflasi.

"(Kita) antisipasi kemarau panjang. Kalau kemarau panjang kan larinya ke peroduksi pangan. Padahal komponen inflasi kita kan yang paling besar pangan bergejolak. Jadi kita harus bener-bener antisipasi musim kekeringan yang mungkin agak di luar kebiasaan," katanya usai ditemui di Kementerian Perekonomian, Jakarta, Rabu (10/7/2019).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Stok Beras Aman

Menteri Bambang mengatakan, untuk kebutuhan pangan sendiri seperti beras sejah ini masih terbilang aman. Sebab, stok yang berada digudang Bulog sendiri masih cukup banyak.

"Beras sejauh ini kalau di cadangan bulog masih relatif aman. Justru harusnya komoditi lain," imbuhnya.

Kendati begitu, dirinya tidak merincikan komoditas-komoitas apa saja yang akan berdampak akibat terjadinya kemarau panjang tersebut. "Iya komoditi lainnya aja. Ya lain diluar beras," pungkasnya.

Seperti diketahui, kekeringan melanda wilayah Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi sejak dua bulan terakhir. Hal ini menyebabkan sekitar 40 persen lahan persawahan di Desa Sirnajati yang ditanami padi terancam gagal panen.

"Ada sekitar 20 hektare sawah milik lima kelompok tani, 40 persennya terdampak kekeringan," kata Sekretaris Desa Sinarjati Sahrudin di Cibarusah, Jumat (28/6).

Dia mengatakan, jika pun turun hujan dianggap telat. Sebab padi yang ditanam petani di sana telah memasuki usia 60 hari.

3 dari 3 halaman

Survei BI Catat Inflasi 0,12 Persen pada Minggu Pertama Juli

Bank Indonesia (BI) mencatat pada minggu pertama Juli 2019 terjadi inflasi 0,12 persen secara month to month (mtm). Sementara, secara year on year (yoy) tercatat sebesar 3,12 persen.

"Berdasarkan survei pemantauan harga ini jauh lebih rendah dibandingkan dua bulan sebelumnya Mei dan Juni ini sesuai pola musimannya dan berkaitan hari Ramadan yang tinggi dan Alhamdulilah bulan Juli 0,12 mom dan yoy 3,12 persen," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat ditemui di Kompleks Masjid BI, Jakarta, Jumat (5/7/2019).

Menurut Perry, angka tersebut menunjukkan inflasi semakin terjaga rendah dan stabil hingga bulan ketujuh ini. Sehingga inflasi pada akhir 2019 diproyeksikan masih akan berada tengah-tengah di bawah kisaran 3,5 persen.

"Jadi ini inflasi kembali kepada polanya dan rendah mengkonfimasi dan akhir tahun ini insya Allah lebih rendah di tittik tengah insya Allah 3,5 persen. Inflasi akhir tahun ini akan lebih rendah dari 3,5 persen," kata Perry.

Perry mengatakan, inflasi tersebut terjadi karena banyak komoditas pangan yang mengalami penurunan seperti daging ayam ras, bawang merah, bawang putih.

"Sebelumnya terjadi inflasi dan bulan ini terjadi deflasi demikain juga antar kota deflasi 0,08 persen," tutur Perry.

Dengan perkembangan ini, Bank Indonesia bersama dengan pemerintah akan selalu berkoodinasi untuk mengendalikan inflasi.

"Jadi pertama secara keseluruhan mengkonfirmasi inflasi tetap rendah terkendali. Kita akan selau berkoordinasi dengan pemerintah pusat maupun daerah inflasi kita di tahun ini ada kemungkinan di bawah titik tengah berarti di bawah 3,5 persen," ujar dia.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com