Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menertibkan 5 lima unit alat bantu penangkapan ikan (rumpon) ilegal di sekitar perairan Ambalat perbatasan Indonesia-Malaysia.
"Penertiban rumpon-rumpon tersebut dilakukan pada Rabu (10/7) oleh Kapal Pengawas Perikanan (KP) Hiu 07 yang dinakhodai Capt Jendri Erwin Mamahit," ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Agus Suherman di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Rumpon-rumpon yang ditertibkan tersebut dipasang di perairan Indonesia tanpa ijin dan diduga kuat dimiliki oleh nelayan asing.
Advertisement
Baca Juga
“Berdasarkan identitas yang didapati, rumpon-rumpon tersebut diduga kuat dimiliki oleh warga Malaysia”, tambah Agus Suherman.
Pemasangan rumpon oleh oknum warga Malaysia di perairan Indonesia disinyalir untuk meningkatkan hasil tangkapan. Hal ini tentu dapat merugikan nelayan Indonesia, karena ikan-ikan akan berkumpul di area rumpon dan kemudian ditangkap oleh nelayan Malaysia.
Selanjutnya rumpon-rumpon tersebut dibawa dan diserahkan ke Stasiun PSDKP Tarakan Kalimantan Utara.
Sejak Januari hingga Juli 2019, sebanyak 81 rumpon ilegal yang terdiri dari 76 milik warga Filipina dan lima milik warga Malaysia berhasil ditertibkan oleh Kapal Pengawas Perikanan KKP.
Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 26/Permen-KP/2014 tentang Rumpon, setiap orang yang melakukan pemasangan rumpon di wilayah pengelolaan perikanan (WPP-RI) wajib memiliki surat izin pemasangan rumpon (SIPR).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
RI Bakal Susul China jadi Produsen Ikan Terbesar di Dunia
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti menjelaskan, saat ini Indonesia menduduki sebagai produsen perikanan kedua terbesar di dunia.
Padahal, aktivitas ilegal perikanan Indonesia masih sangat tinggi. Belum lagi aksi marked down(mengecilkan) tangkapan dan ukuran kapal oleh sejumlah pengusaha nakal yang memanfaatkan nelayan dalam negeri.
Sebabnya, Menteri Susi optimistis jika Indonesia dapat mengurangi praktik ilegal fishing (IUU Fishing), Indonesia dapat menggeser China yang saat ini merupakan produsen utama perikanan global.
"Kita dalam laporan pasar Eropa itu nomor dua setelah China. Kalau illegal fishing ini kita basmi, kita bisa jadi nomer satu. Wong 1 dari 6 tuna di dunia itu dari Indonesia kok," tuturnya kepada Liputan6.com, Selasa (9/7/2019).
Susi Pudjiastuti menjelaskan, Indonesia merupakan pasar besar ketika berbicara industri kelautan. Pasar internasional pun mengakui dengan ikut mendorong pelawanan aksi IUU Fishing.
"Oleh karena itu, pemerintah juga harus memerhatikan kebijakan yang menjaga ekosistem serta pengusaha kita. Supaya lebih sustanaible, kalau tidak dijaga makan akan habis," ungkap Susi Pudjiastuti.
Adapun sebagai informasi, data yang dirilis oleh Lembaga Pengawasan Produk dan Pasar Perikanan Uni Eropa (Eumofa) memang mencatat bahwa China memegang predikat sebagai produsen utama global dengan capaian 81.529 juta ton yang terdiri atas 17,807 juta ton produksi perikanan tangkap dan 63,722 juta ton produksi perikanan budi daya.
Sedangkan Indonesia sendiri, produksi perikanan tangkap RI tercatat terus meningkat setiap tahunnya. Untuk total produksi perikanan budidaya saja, per Semester I tercatat mencapai 8,2 juta ton. Peningkatan produksi tersebut merupakan dampak dari salah satu program budidaya yaitu pakan mandiri.
Advertisement
Menteri Susi Bakal Pangkas Jumlah PNS KKP, Ini Alasannya
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastutimengungkapkan, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu dibenahi di kementerianya selama menjabat hampir 5 tahun lamanya. Salah satunya ialah berkaitan dengan restrukturisasi organisasi dari KKP.
"Yang sudah direncanakan dan dibicarakan Pak Presiden belum selesai tu adalah restrukturisasi organisasi KKP, baru penggabungan dua Dirjen jadi satu. Golden handshake itu juga diperbaiki, kurangi jumlah PNS di KKP karena dengan kemajuan teknologi, PNS kan memang harus dikurangi," tuturnya kepada Liputan6.com, Senin (8/7/2019).
Susi Pudjiastuti menjelaskan, ke depan KKP akan merekrut PNS dengan lulusan cumlaude. Hal ini guna menyaring sumber daya manusia di kementerianya agar semakin unggul.
"Kemudian rekrut yang cumlaude-cumlaude, refresh better quality SDM KKP supaya lebih baik, restrukturisasi organisasi itu dalam internal kkp," terangnya.
Selain itu, tata kelola perikanan tangkap dan perizinan menurutnya masih menjadi fokus pemerintah yang perlu ditingkatkan.
"Perikanan tangkap tata kelola masih harus dibenahi, perizinan, alokasi. Jangan sampai laut RI dikuasai 10 ribu kapal tapi sebenarnya orang-orangnya itu-itu saja. Jangan sampai destructive fishing hancurkan terumbu karang," kata dia.
"Kemudian keberlanjutan, pemerataan dan konservasi-konservasi wilayah perairan yang memang sudah dialokasikan negara untuk komitmennya kepada PBB. Bangun sdm, poltek-poltek tambahan, karena itu sumber pekerjaan baru," tambah Susi Pudjiastuti.
Kesejahteraan Nelayan Terus Meningkat Sejak 2014
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyelenggarakan acara Halal Bihalal di Kantornya. Dalam acara tersebut, dia memaparkan sejumlah capaian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Salah satunya terkait kenaikan Nilai tukar nelayan(NTN) yang merupakan indikator kesejahteraan nelayan.
Menurut dia, Nilai tukar nelayan Bulan Mei 2019 sebesar 113,08. Angka ini naik sebesar 0,64 persen jika dibandingkan bulan yang sama tahun 2018, yaitu dari 112,36.
"Nilai tukar nelayan, nilai tukar Usaha perikanan, nilai tukar pembudidaya harus naik terus. Tidak boleh turun," kata dia, di Kantornya, Jakarta.
Dia mengatakan, sejak 2014, Nilai tukar nelayan terus mengalami kenaikan signifikan. Hal tersebut, lanjut dia, didukung oleh berbagai program kedaulatan kemaritiman yang sudah dijalankan.
"Saya lihat hari ini luar biasa. Ternyata terus membukukan kenaikan. Tahun 2014 itu di bawah 106. Begitu kita canangkan program kedaulatan kemaritiman, signifikan naik, 106, 108. Tahun 2017, 111, 2018, 113, Mei 2019 113,08," ujarnya.
Dia mengakui bahwa angka nilai tukar nelayan bulan Mei belum begitu memuaskan. Namun hal tersebut disebabkan karena karakteristik usaha penangkapan ikan yang biasanya tidak terlalu baik di awal tahun.
"Awal tahun agak sedikit karena biasanya musim hujan masih berlangsung ikan belum ada. Musim kemarau ikan baru ada. Sementara udang dan lobster musim hujan. Tapi dilihat dari tahun 2014 jauh angkanya. Dan pertumbuhan dalam situasi ekonomi dunia yang slow down," tandasnya.
Advertisement