Liputan6.com, Jakarta Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesi (METI) mengusulkan formula tarif listrik dari pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT). Formula ini diharapkan bisa masuk dalam rancangan Undang-Undang yang sedang disusun DPR.
Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan, dalam pengembangan EBT membutuhkan kepastian untuk investasi, salah satunya adalah penetapan harga jual listrik dari pembangkit berbasis EBT. Hal ini sudah diusulkan METI dalam penyusuan Undang-Undang EBT oleh DPR.
"Kepastian hukum perlu ditaruh pada posisi lebih tinggi, kita harus semangat," kata Surya, saat menghadiri sebuah diskusi, di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Advertisement
Baca Juga
Surya mengungkapkan, penetapan tarif listrik yang diusulkan METI adalah melalui badan pengelolaan EBT, badan ini untuk menaungi kegiatan EBT di Indonesia termasuk besaran harga listrik.
"Bagaimana menetapkan harga oleh badan pengelola itu, menerbitkan sertifikat EBT, mengatur presentase penggunaan EBT dan sebagainya," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Usulan Formula
Dia melanjutkan, formula besaran harga listrik yang digunakan dengan menggunakan harga patokan pembelian listrik (Feed in tarif) oleh PT PLN (Persero). Formula berikutnya negoiasi antara pengembang EBT dan PLN dan berdasarkan harga lelang dasar.
"Sebagian aspirasi kita dalam draft yang disusun DPR sudah terakomodir," ujarnya.
Menurut Surya, formula harga listrik dari pembangkit EBT dihitung berdasarkan berdasarkan besaran kapasita pembangkit dan teknologi yang digunakan masing-masing jenis pembangkit berbeda. "Itu sudah dimasukan dalam Undang-Undang itu. Kami memandang ini lebih memiliki kepastian hukum," tandasnya.
Advertisement
Pengamat: Tarif Listrik Seharusnya Turun
Tarif Tenaga Listrik (TTL) dinilai seharusnya mengalami penurunan. Hal tersebut didorong oleh penguatan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), penurunan harga minyak Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP) dan kestabilan inflasi pada beberapa waktu belakangan ini.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Gajah Mada Fahmi Radhi mengatakan, ada tiga variabel yang dijadikan acuan untuk menetapkan tarif listrik yaitu Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan kurs rupiah terhadap dolar AS, serta harga energi primer.
"Penyesuaian tarif listrik otomatis itu berdasarkan variabel penentu tersebut, bisa menyebabkan tarif listrik naik, tetapi bisa pula tarif listrik turun dibanding tarif listrik sebelumnya, tergantung dari besaran variabel penentu tersebut," kata Fahmi, di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Menurut Fahmi, jika mencermati Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik pada saat ini, semua acuan penentu itu menurunkan besaran BPP listrik. Di antaranya, kurs tengah rupiah terhadap dolar AS selama Juli 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp 14.148 per satu dolar AS lebih kuat ketimbang asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 dan RKAP PLN yang ditetapkan sebesar Rp 15 ribu per dolar AS.
ICP juga cenderung turun pada kisaran USD 61 per barel, lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan sebesar USD 70 per barel. Sedangkan inflasi Juli diprediksikan juga rendah, diramalkan hanya 0,12 persen per bulan atau sekitar 3,12 persen secara rahun ke tahun sepanjang 2019.
"Selain ketiga indikator itu, biaya energi primer yang menentukan Harga Pokok Produksi (HPP) listrik cenderung tetap, bahkan beberapa beberapa harga energi primer mengalami penurunan," tambahnya.