Sukses

Penerimaan Cukai Sentuh Rp 66 Triliun di Semester I 2019

Penerimaan cukai hingga semester I 2019 sebesar Rp 66,70 triliun atau 40,30 persen dari target penerimaan cukai pada APBN 2019.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan cukai sampai dengan semester I 2019 sebesar Rp 66,70 triliun atau 40,30 persen dari target penerimaan cukai pada APBN tahun 2019. Capaian tersebut tumbuh signifikan sebesar 30,89 persen dibandingkan capaian tahun lalu.

"Pertumbuhan penerimaan cukai dikontribusi oleh cukai hasil tembakau (CHT), dan kemudian minuman mengandung etil alkohol (MMEA) serta etil alkohol (EA)," kata dia, di Jakarta, Selasa (16/7).

 

Penerimaan CHT, merupakan kontributor terbesar penerimaan cukai. Tercatat hingga bulan Juni 2019 penerimaan CHT mencapai sebesar Rp 63,82 triliun atau 40,18 persen dari targetnya. Capaian penerimaan CHT tumbuh tinggi sebesar 31,59 persen dibanding pertumbuhan Juni 2018 yang hanya 14,84 persen.

Pertumbuhan positif tersebut sebagai efek dari kebijakan relaksasi pelunasan pita cukai (CK1), ditambah semakin gencarnya program Penertiban Cukai Berisiko Tinggi (PCBT) dalam mengurangi peredaran rokok ilegal. 

Sementara penerimaan MMEA sepanjang semester I tahun 2019 mencapai sebesar Rp 2,78 triliun, capaian ini tumbuh positif sebesar 17,75 persen dibanding capaian periode yang sama tahun lalu. 

"Program PCBT turut berkontribusi dalam mengurangi peredaran MMEA ilegal, alhasil MMEA legal produksi dalam negeri memenuhi pasar yang sebelumnya dipenuhi produk MMEA ilegal," jelas dia.

Sedangkan untuk penerimaan EA, hingga bulan Juni 2019 tercatat telah mencapai Rp 0,06 triliun atau 36,98 persen dari targetnya.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Penerapan Cukai Rugikan Industri Plastik Lokal

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana uahunntuk menerapkan cukai plastik pada tahun ini. Melalui kebijakan ini diharapkan akan mampu mengendalikan konsumsi plastik dan meningkatan pendapatan negara melalui penerimaan cukai.

Pengamat Ekonomi Akbar Tahir mengatakan masalah sampah plastik yang dihadapi saat ini merupakan kegagalan dalam mengelola sampah di dalam negeri. Selama ini Indonesia dinilai belum memiliki manajemen pengelolaan sampah plastik yang baik seperti melalui mekanisme daur ulang.

“Jadi untuk mengendalikan plastik, bukan pelarangan atau penerapan cukai yang saat ini sedang direncanakan pemerintah. Pasalnya penerapan cukai kantong plastik akan menyebabkan, antara lain, tambahan pengeluaran bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini akan berimbas pada kemampuan atau daya beli kelompok masyarakat miskin yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia," ujar dia di Jakarta, Selasa (9/7/2019).

Akbar mengungkap, dengan pengenaan cukai 100 persen, harga kantong plastik akan meningkat 2 kali lipat. Dengan demikian akan terjadi penurunan penggunaan, yang sekaligus akan berdampak pada mata rante produksi yang jelas akan merugikan industri plastik di Indonesia, dengan Jumlah besar tenaga kerja yang terlibat.

“Perlu dipertimbangkan upaya lintas Kementerian/Lembaga untuk perbaikan sistem pengelolaan sampah guna meningkatkan penemuan kembali sampah plastik dari lingkungan (plastic waste recovery) yang masuk dalam mata rantai produksi sebagai bentuk nyata dukungan terhadap Circular Economy menuju Indonesia yang lebih bersih dari sampah plastik,” kata Prof Akbar.

Menurutnya paling penting adalah kolaborasi antara para pihak dalam pelaksanaan plastic waste clean-up yang sebagian hasilnya harus masuk proses daur ulang. Program penyadaran masyarakat tentang dampak sampah plastik harus secara terencana dilakukan, dan harus terus dilakukan dan bukan merupakan program jangka pendek dan terkesan pencitraan saja.

3 dari 3 halaman

Tidak Tepat Sasaran

Sementara itu, Anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rachmat Hidayat menilai pelarangan penggunaan plastik dan penerapan cukai plastik tidak tepat sasaran karena akan merugikan masyarakat (konsumen). Tidak hanya itu, pelarangan itu juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.

“Plastik kemasan produk industri (makanan, minuman, farmasi, minyak, kimia, dan sebagainya) tidak dapat dipisahkan dari produk yang dikemas di dalamnya. Jadi melarang peredaran plastik kemasan produk berarti melarang peredaran produk yang dikemas dalam plastik kemasan tersebut,” kata Rachmat.

Padahal, menurut Rachmat, produk-produk tersebut sudah dikendalikan dan diawasi oleh kementerian/lembaga yang terkait sesuai dengan sektornya masing-masing. Contohnya produk makanan dan minuman serta farmasi berada dibawah pengawasan BPOM dan Kementerian Kesehatan. Sedangkan produk pestisida berada di bawah pengawasan Kementerian Pertanian serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.