Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah bersama DPR diminta untuk kembali melanjutkan pembahasan RUU Pertanahan pada tahun ini. Hal tersebut sebagai upaya untuk merealisasikan amanat Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pengamat Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sudarsono Soedomo mengatakan, selama ini jutaan rakyat Indonesia selama puluhan tahun telah hidup dalam ketidakpastian akibat dari ketidakjelasan status tanah mereka.
Advertisement
Baca Juga
“Menunda pengesahan RUU Pertanahan bukan opsi. Sempurnakan segera bila masih ada yang dianggap kurang dan percepat pengesahannya bila mungkin," ujar dia di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Dia berpendapat, pembenahan masalah pertanahan harus segera dilakukan. Apalagi, label kawasan hutan sudah sangat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional.
Saat ini, lanjut Sudarsono, dari luas izin penggunaan kawasan, hanya kurang dari 5 persen dinikmati rakyat kecil, sementara lebih dari 50 persen perusahaan besar pemegang izin tidak aktif dan membiarkan arealnya terlantar.
“Terlalu jelas bahwa pemanfaatan lahan berlabel kawasan hutan sangat jauh dari keadilan," jelas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perbaiki Pemanfaatan Tata Ruang
Pernyataan senada dikemukakan Pengamat hukum kehutanan dan Lingkungan DR Sadino. Dia berpendapat bahwa pembahasan RUU tersebut harus dilanjutkan.
“Ada beberapa aturan yang sudah usang dan perlu diperbarui," kata dia.
Menurut dia, semangat RUU pertanahan itu adalah memperbaiki pemanfaatan tata ruang. "Kalau KLHK menyebut ruang kritis 20 persen apa hal ini hanya menjadi bahan pemberitaan saja, tanpa ada solusi," lanjut dia.
Seharusnya, kata Sadino, lahan kritis itu tidak dibiarkan menjadi lahan tidur, padahal ada solusi lain, yakni dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Apalagi, tantangan yang dihadapi pada masa depan hanya terbatas pada upaya peningkatan produksi tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
“Tantangan ini bisa dijawab dengan memanfaatkan lahan yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian produktif," tandas dia.
Advertisement
Begini Penerapan Pajak Tinggi buat Tanah Nganggur
Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih menggodok rencana pungutan pajak progresif bagi tanah-tanah menganggur. Pajak tinggi tersebut akan dikenakan terhadap keuntungan dari hasil penjualan tanah.
Menteri ATR Sofyan Djalil mengungkapkan, kajian pajak progresif bagi tanah menganggur atau idle sudah dibahas kementerian teknis. Namun, pemerintah masih merumuskan mengenai mekanisme pungutan dan perhitungan pajak progresif, kecuali bagi bank tanah kawasan industri ataupun perumahan.
"Kita masih work out, masih dirumuskan semuanya, jangan sampai menciptakan distorsi. Kita baru bicara pada tingkat teknis. Kalau sudah formal baru ke presiden," ujar dia saat ditemui di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (30/1/2017).
Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu memberikan gambaran mengenai pengenaan pajak tinggi pada tanah menganggur. Pajak progresif dipungut terhadap keuntungan dari hasil penjualan tanah yang tinggi.
"Sebagai contoh, kita tahu harga tanah sekarang berapa misal Rp 10 ribu per meter. Nanti kalau dijual seharga Rp 100 ribu per meter, maka yang Rp 90 ribu itu kena pajak progresif. Atau beli tanah sebelumnya Rp 1 miliar, tapi dijual Rp 2 miliar. Keuntungan 100 persen ini yang dipajaki," ucap Sofyan.
Sofyan menuturkan, pemerintah berencana memungut pajak progresif bagi tanah-tanah menganggur untuk menghilangkan atau membatasi spekulasi orang terhadap tanah yang tidak produktif.
"Orang jangan punya uang investasinya di tanah, tidak memberi manfaat apa-apa, beli tanah hanya mengharapkan harga naik. Harga tanah jadi tidak terkontrol karena orang berspekulasi, pada akhirnya mendistorsi investasi," ucap Eks Kepala Bappenas itu.
Dia menuturkan, pemerintah sangat serius mengkaji dan ingin menerapkan kebijakan pajak progresif untuk tanah menganggur atau tidak produktif, dengan tujuan menghilangkan spekulasi tanah. "Kita sangat serius lo ini. Kita kan masukkan kebijakan ini di RUU Pertanahan. Kita akan lihat regulasi apa yang memungkinkan," tutur Sofyan.