Liputan6.com, Beijing - China belakangan ini terkuak sebagai pemberi pinjaman yang dominan di dunia, bahkan muncul istilah Diplomasi Jebakan Utang (Debt-Trap Diplomacy). Ternyata, mereka sendiri juga terlilit utang signifikan.
Berdasarkan laporan South China Morning Post, utang China telah meroket hingga 300 persen dari GDP mereka. Nominalnya mencapai USD 40 triliun atau Rp 558 ribu triliun (USD 1 = Rp 13.967).
Advertisement
Baca Juga
Utang China semakin menumpuk karena pemerintah terus menerbitkan surat utang untuk meringankan ekonomi yang sedang melambat. Intitute of International Finance (IIF) mencatat utang China hampir menyentuh 304 persen GDP mereka dalam tiga bulan pertama 2019.
Household debt (utang rumah tangga) di China juga melesat hingga 54 persen GDP dalam kuartal pertama tahun ini. Utang jenis itu merupakan milik masyarakat seperti cicilan rumah atau kartu kredit.
Utang pemerintah China naik 51 persen dalam kuartal pertama dibanding 47,4 persen pada tahun sebelumnya. Sementara, utang sektor finansial naik 43 persen dari 41,3 persen.
China sebetulnya sudah meluncurkan kampanye untuk mengurangi utang dan peminjaman berisiko, namun langkah itu terhambat akibat perang dagang. China pun meringankan syarat kredit. dan pengeluaran proyek infrastruktur pun digencarkan untuk memicu pertumbuhan ekonomi.
Analis Moody's menyebut usaha China melawan "shadow banking", alias jalur peminjaman uang non-bank, juga akan berkurang karena pemerintah berupaya menambah stimulus kredit akibat dampak buruk dari perang dagang yang bertambah.
Perang dagang juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi China merosot hingga 6,2 persen. Pertumbuhan tersebut merupakan yang terendah selama 27 tahun.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Diplomasi Jebakan Utang dari China
China selama ini masih mengaku sebagai negara berkembang ketimbang negara maju. Ternyata, negara itu terkuak sebagai pemberi pinjaman alias kreditor terbesar di dunia.
Melansir laporan CNBC, kucuran utang dari China ke berbagai negara membengkak menjadi lebih dari USD 5 triliun atau Rp 69 ribu triliun (USD 1 = Rp 13.921). Itu berdasarkan data periode 2000 dan 2017.
"Itu telah mentransformasi China menjadi kreditor resmi terbesar yang dengan mudah melewati IMF dan Bank Dunia," tulis laporan yang ditulis Carmen Reinhard dari Universitas Harvard bersama Christoph Trebesch dan Sebastian Horn dari Kiel Institute.
Secara keseluruhan, studi itu meneliti 2.000 pinjaman China kepada 152 negara pada tahun 1949-2017. Tercatat sejak tahun 2015 saja ada 50 negara berkembang yang terus menambah utang dari China.
Negara yang lebih maju berutang ke China lewat surat utang negara (sovereign bonds). Sementara, negara berpenghasilan rendah biasa mendapat utang langsung dari BUMN China seperti China Development Bank dan Export-Import Bank of China.
"Gencarnya pinjaman utang internasional itu adalah hasil pertumbuhan ekonomi China yang cepat, tetapi juga karena kebijakan going global dari China," ujar Tresbech yang menjadi kepala peneliti keuangan internasional dan pemerintahan dunia di Kiel Institute.
Selama ini China dikritik karena menggelontorkan utang lewat program Jalur Sutera Baru mereka. Foreign Policy dan berbagai pengamat kerap menyebutnya sebagai Diplomasi Utang (debt diplomacy).
Advertisement
Utang Tersembunyi
Masalah lain dari utang China adalah negara itu tidak transparan dalam pelaporan utang. Utang tersembunyi ini memberi dampak berat bagi negara seperti Venezuela, Iran, dan Zimbabwe.
Akibat dari kasus utang tersembunyi ini, ada negara yang utangnya tampak lebih kecil dari sebenarnya. Lembaga internasional seperti IMF kesulitan untuk menganalisis tingkat utang negara tersebut demi memberikan strategi dalam meringankan utang.
Meski bunga utang dari China lebih kecil, mereka memiliki tempo pembayaran yang lebih singkat. China pun siap menerima pembayaran dari sumber daya negara itu seperti minyak.
Tahun lalu, Sri Lanka harus rela menyerahkan pelabuhannya karena masalah utang ke China. Akibatnya, Diplomasi Utang China juga mendapat julukan Diplomasi Jebakan Utang (debt-trap diplomacy).
Menurut laporan Reinhard, Trebesch, dan Horn, daerah-daerah yang paling banyak berutang ke China adalah di wilayah Asia Tengah dan Timur Jauh (Asia Timur dan Tenggara) seperti Las dan Kamboja. Selanjutnya ada Amerika Latin dan negara Eropa Timur.