Sukses

BI Diminta Kembali Turunkan Suku Bunga Acuan

Bank Indonesia (BI) perlu memangkas suku bunga acuanya kembali pada tahun ini sebesar 25 basis poin (bps).

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, Bank Indonesia (BI) perlu memangkas suku bunga acuanya kembali pada tahun ini sebesar 25 basis poin (bps).

Menurutnya, penurunan suku bunga acuan BI sebesar 25 bps pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis (18/7) tidaklah cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebabnya, BI dinilai perlu kembali memangkas suku bunga acuannya 25 bps sampai dengan akhir tahun.

"Yang dibutuhkan penurunan suku bunga acuan itu 50 bps, karena dampak penurunan suku bunga kredit kan juga tidak instan. Itu bisa 3-5 bulan baru dirasakan, ada jeda waktu," tuturnya kepada Liputan6.com, Sabtu (19/7/2019).

Bhima pun menegaskan, BI diharapkan dapat mampu kembali memangkas suku bunga acuannya pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) selanjutnya di bulan depan.

Sementara itu, dia menjelaskan, beberapa industri dipastikan menyambut baik atas ketetapan BI menurunkan suku bunga acuan. Itu seperti salah satunya ialah sektor perbankan.

"Sektor perbankan, properti, otomotif happy dengan bunga rendah. Konsumen juga senang karena bunga yang rendah artinya bunga KPR dan kredit kendaraan bermotor lebih murah," paparnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

BI Turunkan Suku Bunga Acuan Jadi 5,75 Persen

Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Juli 2019 Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan Bank Indonesia (BI) 7-day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan 25 basis poin (bps) pada angka 5,75 persen.

BI juga menahan suku bunga Deposit Facility pada angka 5 persen dan Lending Facility 6,5 persen.

"Rapat Dewan Gubernur BI pada 17-18 Juli 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day repo" ujar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, di Kantor BI, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Penurunan suku bunga menurutnya dilakukan sejalan dengan kondisi perekonomian global yang melambat. 

"Kebijakan ini sejalan dengan tetap rendahnya perkiraan inflasi kedepan dan perlunya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi ditengah pasar keuangan global yang menurun dan stabilitas ekonomi Indonesia yang terkendali," ujarnya. 

3 dari 3 halaman

Sesuai Prediksi

Bank Indonesia (BI) diprediksi akan menurunkan tingkat suku bunga acuannya. Sebab, BI dinilai tidak lagi memiliki alasan untuk tetap mempertanahkan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI Repo Rate).

Pengamat Ekonomi INDEF, Bhima Yudhistira mengatakan, idealnya BI lakukan kebijakan preemptives dengan turunkan bunga 25-50 basis point (bps), sebelum Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, menurunkan suku bunganya.

"Tidak ada alasan bagi BI menahan suku bunga di tengah kurs rupiah yang stabil, inflasi yang rendah dan cadangan devisa yang mulai meningkat. Sektor riil juga butuh stimulus moneter agar beban bunga menurun dan bisa lebih ekspansif," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Menurut Bhima, jika BI terlambat lakukan pemangkasan bunga acuan, maka akan melewatkan momentum yang ada saat ini. Bahkan, lanjut dia, seharusnya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) sebelumnya BI sudah memangkas suku bunga acuannta sebesar 25 bps.

"Kalau terlambat maka investor masih menanam uang di instrumen surat utang dan deposito karena bunga tinggi, implikasi aliran likuiditas ke sektor riil bisa terhambat. Padahal sektor riil butuh relaksasi. Begitu juga dengan bank kebijakan bunga tinggi akan membuat persaingan dana murah makin ketat. Bank berlomba jaga bunga mahal agar LDR bisa rendah. Itu kan tidak sehat buat likuiditas," kata dia.

Bhima menyatakan, jika BI menurunkan suku bunga acuannya pada RDG hari ini, memang dampaknya ada lagi 3-5 bulan ke penurunan bunga kredit. Namun, jika BI berani menurunkan suku bunganya hingga 50 bps, maka dampaknya bisa lebih signifikan.

"Secara teori bunga yang turun akan memacu investor memindahkan dana dari instrumen berbasis bunga ke equitas baik beli saham atau investasi langsung. Aliran likuiditas ke sektor riil juga lebih deras. Bunga yang rendah akan turunkan cost of borrowing pengusaha. Ada keringanan biaya produksi sehingga pengusaha bisa tarik kredit lbih banyak. Ujungnya pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi bisa dipacu naik," tanda dia.Â