Sukses

YLKI: Penjualan Kartu Operator Arab Saudi Berpotensi Rugikan Negara

YLKI mendesak pemerintah untuk melarang penjualan kartu perdana operator Arab Saudi pada jemaah haji Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah untuk melarang penjualan kartu perdana operator Arab pada jemaah haji Indonesia. Salah satu alasannya ialah menghilangkan potensi penerimaan pajak negara.

"Terkait hal itu, saya telah menerima pertanyaan jurnalis, terkait tidak berfungsinya kartu perdana calon jemaah. Oalah, ternyata kartu perdana tersebut berasal dari operator telko Arab Saudi yang berjualan kartu perdana di Indonesia, via agen travel haji atau umroh," tutur Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, Minggu (21/7/2019).

Tulus menjelaskan, meski Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) tidak melarang perihal regulasi telko di Indonesia, namun pihaknya menilai penjualan kartu perdana Arab tersebut berpotensi merugikan konsumen, atau bahkan negara.

"Merugikan konsumen mengingat, jika ada gangguan pelayanan para jemaah haji tidak bisa melakukan komunikasi atau komplain ke operator Arab Saudi tersebut. Baik karena kendala bahasa, wawasan, dan atau kendala teknis lainnya," ujarnya.

"Selain itu, penjualan ini berpotensi merugikan negara karena ada potensi pendapatan pajak yang hilang. Oleh karenanya, ini juga berpotensi melanggar Undang-Undang tentang Perdagangan," tambah dia.

Oleh sebab itu, Tulus menegaskan, YLKI mendesak agar Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan larangan penjualan kartu perdana operator telekomunikasi Arab Saudi di Indonesia.

"Itu karena merugikan calon jemaah haji sebagai konsumen bahkan merugikan negara," paparnya.

Saksikan Video Terkait Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

YLKI: Aduan Konsumen Terkait Fintech Mendominasi di Semester I 2019

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI mencatat aduan pinjaman online atau P2P lending (fintech) menjadi aduan tertinggi per semester I 2019. Keluhan fintech meningkat mengingat penetrasi teknologi digital kini tengah berkembang di Indonesia.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, aduan mengenai financial services (layanan keuangan) memang mengalami peningkatan saat ini, terutama perihal bunga fintech yang tercatat melambung tinggi yang merugikan masyarakat.

"Banyak data pengaduan financial service, e-commerce, pinjaman online (pijol). Tapi saya belum lihat datanya secara pasti. Keluhanya untuk pijol biasanya bunga yang tinggi, denda nggak rasional, sampai penyadapan data pribadi," tuturnya di Jakarta, Jumat (19/7/2019).

Dia menjelaskan, pihaknya telah bertemu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membahas perihal perkembangan pijol baik legal dan ilegal yang kini bertumbuh pesat di pasar domestik.

"Kami baru diundang OJK dan memang pijol harus jadi perhatian betul agar jangan jadi rentenir online, khususnya pijol yang ilegal, karena baru 100-an saja yang berizin (legal)," ujarnya.

Sebagai informasi saja, per 31 Mei 2019, OJK mencatat penyelenggara fintech terdaftar dan berizin adalah sebanyak 113 perusahaan. OJK mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggaran fintech peer to peer lending yang sudah terdaftar/berizin dari OJK.

3 dari 3 halaman

Pengaduan Konsumen Belanja Online Naik Tajam

Kemajuan teknologi semakin memudahkan manusia. Namun dibalik kemudahan tersebut juga banyak kejahatan baru yang tercipta, salah satunya adalah penipuan online.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, sejak belanja online menjadj sebuah gaya hidup masyarakat kekinian, pengaduan terkait penipuan pun ikut meningkat.

"Dari data pengaduan YLKI satu sisi belanja online makin marak banyak akses banyak produsen yang diuntungkan. Tapi 3 tahun terakhir ini pengaduan belanja online meningkat tajam," kata Tulus dalam sebuah acara diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (12/7/2018).

Selain pengaduan penipuan online, aduan lainnya yang paling tinggi adalah dari sektor perbankan.

"Bahkan di YLKI pengaduan online paling tinggi menyundul pengaduan dari sektor perbankan, perbankan juga banyak diajukan. Pengaduan perbankan 5 tahun terakhir paling tinggi tapi kemudian 3 tahun terakhir disundul oleh pengaduan masalah belanja online," ujarnya.

Tulus mengungkapkan, sebagian besar aduan mengenai perbankan adalah terkait lambatnya penanganan dari pihak perbankan. Dia menegaskan bahwa YLKI menyayangkan adanya kelambatan respons keluhan dari kedua sektor tersebut.

"Yang kita sayangkan adalah lambannya respons pengaduan," tutupnya.

Selain itu, Tulus mebyebutkan bahwa kejahatan di sektor perbankan semakin canggih. Dia berharap Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang diluncurkan pemerintah beberapa bulan ke belakang bisa menjadi solusi mutakhir.

"Dan kejahatan di perbankan semakin banyak dan semakin canggih. GPN harus mengantisipasi agar tidak terjadi pembobolan transaksi atau pembobolan rekening sehingga bisa menambah kepercayaan konsumen." tutup dia.