Liputan6.com, London - Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson, menyiapkan proyek iklan untuk menunjang perceraian Inggris dan Uni Eropa, alias Brexit. Proyek iklan ini akan mencapai 100 juta pound sterling atau Rp 1,7 triliun (1 pound sterling = Rp 17.337).
Dikutip dari The Telegraph, Selasa (30/7/2019), Johnson telah memerintahkan kabinetnya untuk habis-habisan mendorong Brexit yang ditargetkan terjadi pada 31 Oktober mendatang. Iklan Rp 1,7 triliun itu akan digencarkan pada tiga bulan ke depan dan tayang di billboard, radio, dan televisi.
Advertisement
Baca Juga
Persiapan Johnson untuk memimpin Inggris keluar dari Uni Eropa sudah bagaikan peperangan. Briefing saja dilakukan di ruang Cobra pada kantor kabinet yang lazimnya dipakai saat darurat nasional.
Menteri Perdagagangan Internasional Inggris, Liz Truss, juga sudah mulai meluncurkan negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) sebelum Inggris meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober. Presiden Donald Trump juga mendukung terjadinya Brexit.
Chancellor of the Exchequer atau Menteri Keuangan Sajid Javid juga menyiapkan ekstra 1 miliar pound sterling (Rp 17,3 triliun) dalam persiapan Brexit. Sejumlah dana tersebut juga akan masuk ke iklan untuk publik.
Boris Johnson lebih tegas terhadap Brexit ketimbang pendahulunya, Theresa May. Pemerintahan Inggris saat ini juga bersiap untuk kemungkinan terburuk, yakni Brexit tanpa kesepakatan bersama Uni Eropa (no-deal Brexit).
"Kami sedang melakukan turbo-charging untuk persiapan no deal dan itu sekarang prioritas nomor satu Pemerintah," ujar Rishi Sunak, Kepala Sekretaris Kementerian Keuangan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Uni Eropa Khawatir Kemenangan Boris Johson Mempersulit Pembahasan Brexit
Pemimpin Uni Eropa terpilih, Ursula von der Leyen, memperingatkan bahwa kemenangan Boris Johnson di Parlemen Inggris bisa memicu "masa-masa sulit" dalam negosiasi ulang Brexit.
Von der Leyen, seorang konservatif Jerman yang akan memimpin Uni Eropa pada November nanti, mengatakan bahwa semua pihak memiliki "tugas untuk memberikan sesuatu yang baik bagi orang-orang di Eropa dan Inggris".
Tetapi, dalam sebuah pernyataan lain, von der Leyen juga memperingatkan akan ada "masa-masa sulit" antara Uni Eropa dan Johnson, menyusul janji sang mantan wali kota London itu menegosiasikan kembali Brexit, atau meneruskan ancaman pendahulunya, Theresa May, untuk pergi tanpa kesepakatan pada 31 Oktober mendatang.
Komentar von der Leyen datang hanya beberapa jam setelah Johnson dikukuhkan sebagai pemimpin baru Partai Konservatif yang berkuasa di Inggris, sekaligus calon penerus May.
Ia mengalahkan saingannya, Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt, dalam pemungutan suara pasca-kontes kepemimpinan yang panjang.
Boris Johnson memenangkan suara lebih dari 92.000 anggota Partai Konservatif, hampir dua kali lebih banyak dari Hunt.
Sementara itu, Theresa May akan meninggalkan jabatannya sebagai perdana menteri pada Rabu ini, setelah pergi ke Istana Buckingham untuk menemui Ratu Elizabeth II, yang kemudian akan secara resmi menunjuk Johnson sebagai perdana menteri.
Advertisement
Uni Eropa Tak Akan Setuju Ubah Kesepakatan Brexit
Beberapa menit sebelum kemenangan Boris Johnson diumumkan oleh Partai Konservatif, wakil ketua Komisi Eropa Frans Timmermans --yang akan menjabat posisi sama di bawah von der Leyen-- mengatakan Uni Eropa tidak akan setuju untuk mengubah kesepakatan Brexit.
"Britania Raya mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa, dan Uni Eropa akan tetap berpegang pada perjanjian itu," kata Timmermans kepada wartawan pada konferensi pers di Brussels.
"Ini adalah kesepakatan terbaik," tambahnya.
Kesepakatan Brexit disegel setelah berbulan-bulan negosiasi yang sulit antara London dan Brussels, di mana terjadi penolakan tiga kali oleh Parlemen Inggris, sehingga mendorong Theresa May mengundurkan diri.
Uni Eropa sedang bersiap-siap untuk Brexit tanpa kesepakatan, atau penundaan lain untuk kepergian Inggris, di tengah janji Johnson untuk menindaklanjuti janji kampanyenya.
"Brexit tanpa kesepakatan, Brexit yang keras, akan menjadi tragedi untuk semua pihak, bukan hanya untuk Inggris," kata Timmermans. "Kita semua akan menderita jika itu terjadi."