Liputan6.com, Jakarta - Money laundering atau pencucian uang saat ini merupakan salah satu tindak kejahatan yang kerap dilakukan oleh para koruptor yang hendak menyamarkan asal usul uang korupsinya. Namun ternyata, tak hanya koruptor yang bisa terjerat pidana pencucian uang. Masyarakat yang tak bersalah juga bisa ikut terjerat pidana pencucian uang.
Seperti kasus hendak berderma dengan menyumbangkan uang namun malah terjerat pasal hukum. Bagaimana ceritanya?
Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengatakan, pelaporan atas kasus transaksi mencurigakan kini semakin marak beredar. Dalam sehari, ia menyampaikan, itu bisa mencapai sekitar 300 laporan.
Advertisement
Baca Juga
"Sebetulnya kalau lihat ilustrasi sederhana saja, transaksi mencurigakan yang dilaporkan kepada kita sehari bisa mencapai mungkin sekitar 300 (laporan), di seluruh Indonesia," jelas dia saat berbincang dengan Liputan6.com di kantornya, Jakarta, seperti dikutip Jumat (16/8/2019).
Lebih lanjut, Dian mengutarakan, warga biasa juga secara tidak langsung bisa terlibat dalam sistem kejahatan pencucian uang dan terjerat pidana. Ini terjadi dalam beberapa kasus, seperti peminjaman rekening bank pribadi hingga menyumbangkan dana kepada sebuah organisasi yang ternyata berkedok terorisme.
"Bisa saja secara tidak langsung. Misalnya ada orang minjam rekening pribadi orang lain. Orang kadang-kadang yaudahlah enggak apa-apa kalai. Itu otomatis pasti kena, baik sebagai pelaku atau pelaku pasif," urai dia.
"Atau katakanlah kita mau nyumbang ke organisasi keagamaan atau NPO (Non-Profit Organization). Tapi ternyata organisasi ini membiayai terorisme. Kena juga pendanaan terorisme," dia menambahkan.
Oleh karena itu, ia menghimbau kepada setiap warga negara agar memiliki kesadaran akan bahaya tindak pidana pencucian uang. Dia pun menyarankan, agar kita dapat lebih cermat sebelum memberikan sumbangan kepada pihak yang belum dikenal.
"Jangan-jangan yang saya danai ternyata adalah kelompok-kelompok teroris misalkan. Sama saja seperti kasus korupsi tadi, kalau rekening tadi dipakai jangan percaya. Bisa saja itu dipakai untuk nampung duit korupsi, atau dipakai untuk kasus kejahatan lain. Sering kita menemukan kasus seperti itu," tuturnya.
PPATK: Legislatif Paling Berpotensi Lakukan Pencucian Uang
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan Indeks Persepsi Public (IPP) Anti Pencucian Uang dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) pada 2018 sebesar 5,46.
Angka ini meningkat jika dibandigkan tahun lalu yang sebesar 5.24. Namun jiks dilihat skor maksimum mencapai 10, maka angka itu masih belum memuaskan.
Secara khusus, angka IPP Tindak Pidana Pencucian Uanga (TPPU) pada 2018 sebesar 5,68, dimana angka ini juga belum memuaskan.
BACA JUGA
"Berdasarkan evidence-based hasil pengukuran 2018, diketahui bahwa tingkat efektivitas kinerja rezim APU-PPT Indonesia dinilai publik cukup baik, namun perlu adanya upaya yang lebih taktis dari seluruh stakeholder untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap karakteristik, regulasi, risiko TPPU," kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin di kantornya, Selasa (18/12/2018).
Kiagus menjelaskan, untuk faktor pendorong, pertama, publik meyakini bahwa faktor pendorong yang paling penting dalam mendorong terjadinya TPPU adalah belum efektifnya upaya penegakan hukum di Indonesia.
Kedua, publik mayakini masih minimya teladan yang baik dari politisi dan pejabat pemerintah. Dan ketiga, belum efektifnya pengawasan pelaksanaan aturan dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang.
Advertisement