Liputan6.com, Jakarta - Indonesia telah mengirimkan nota keberatan kepada WTO. Nota keberatan tersebut, berkaitan pengenaan bea masuk anti subsidi (BMAS) sebesar 8 persen hingga 18 persen terhadap impor biodiesel asal IndonesiaÂ
"Kita menyampaikan surat keberatan. Sudah disampaikan. Harusnya paling lambat hari ini. Isinya nota keberatan ke WTO," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (16/8).
Advertisement
Baca Juga
Meskipun demikian, Enggar enggan membeberkan secara terperinci apa saja yang menjadi poin-poin yang dimasukkan dalam nota keberatan tersebut.
"Iya. Kan ada batas waktu 15 hari untuk menyampaikan nota keberatan. sudah disampaikan kesana," ujar dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kemendag Oke Nurwan pun membenarkan bahwa nota keberatan telah dilayangkan Indonesia. Salah satu poin yang ditekankan Indonesia terkait penerapan bea masuk biodiesel sebesar 8 persen hingga 18 persen.
"Intinya setahu saya kita berkeberatan dengan salah satunya, pola penetapan (bea masuk) 8 sampai 18 persen," ungkapnya.
Meskipun demikian, dia pun enggan membeberkan secara terperinci isi nota keberatan tersebut. Sebab berada dalam kewenangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri.
"Untuk biodiesel iya. Kalau itu kan ada batasannya kemarin 15 hari, sudah kita sampaikan. Nota keberatannya saya kan nggak bikin jadi Pak Wisnu (Direktur Jenderal Perdagangan Luar Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana) yang bikin," tandasnya.
  Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengusaha: Pengenaan Bea Masuk Biodiesel oleh Eropa Terlalu Tinggi
Uni Eropa resmi memberlakukan pengenaan bea masuk untuk biodiesel asal Indonesia sebesar 8-18 persen. Kebijakan itu akan berlaku secara provisional (sementara) per 6 September 2019, dan ditetapkan secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mengaku keberatan dengan adanya kebijakan tersebut. Pengenaan bea masuk dinilai akan semakin menyulitkan ekspor ke Uni Eropa.
Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan mengatakan, provision yang dikenakan kepada beberapa perusahaan dengan rentang 8-18 persen masih terlalu besar. Sehingga diyakini akan menghambat kinerja ekspor biodiesel.
"Ya, tidak bisa ekspor lah, susah," kata dia saat ditemui usai rapat di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Oleh karena itu dia mengungkapkan para pengusaha yang telah dikenakan provision telah melayangkan surat balasan ke Uni Eropa. Paulus berharap Uni Eropa dapat mempertimbangkan kembali besaran provision ke pengusaha.
"Kan tergantung hasil dari pembelaan masing-masing perusahaan dan pemerintah. Mungkin bisa kurang dari 8 persen, nanti kita lihat," ujarnya.
Dia menegaskan, angka yang diajukan Uni Eropa sangat tinggi. "Yaudahlah kalau 5 persen sama aja kaya pajak biasa. Tapi kalau 18 atau 16 persen tadi gede banget," tutupnya.
Advertisement
Berujung ke WTO
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution memperkirakan sengketa mengenai penerapan bea masuk terhadap bio diesel tersebut akan berujung ke meja World Trade Organization (WTO).
"Pasti ujungnya kalau mereka sudah mulai kan gak bisa dibiarkan gitu aja, pasti ujungnya ya ke WTO. Kami tentu akan mendengar apa yang mereka tuduhkan, kami jawab, diskusi dan berunding," kata dia saat ditemui di kantornya, Minggu (28/7).
Darmin mengungkapkan alasan Eropa selalu mendiskriminasi produk olahan atau turunan dari kelapa sawit sebab secara kualitas lebih unggul dibandingkan minyak nabati Eropa. Selain itu, produk sawit memiliki harga yang lebih kompetitif, produk olahan kelapa sawit milik Indonesia juga jumlahnya berlimpah.
Biodiesel Indonesia dikenai bea masuk karena UE menuding Indonesia menerapkan praktik subsidi untuk produk bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) itu. Pengenaan tarif impor ini merupakan buntut dari sengketa biodiesel antara Indonesia dan UE selama 7 tahun terakhir. Adapun, bea masuk tersebut akan diberlakukan untuk biodiesel produksi Ciliandra Perkasa sebesar 8 persen, Wilmar Group 15,7 persen, Musim Mas Group 16,3 persen, dan Permata Group sebesar 18 persen.
Reporter:Â Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.comÂ