Sukses

Polusi Udara Jakarta Timbulkan Kerugian Hingga Rp 51 Triliun

Jakarta menjadi urutan pertama kota dengan kualitas udara yang tidak sehat di dunia.

Liputan6.com, Jakarta Polusi udara di Jakarta menjadi perbincangan hangat masyarakat akhir-akhir ini. Jakarta bahkan menjadi urutan pertama kota dengan kualitas udara yang tidak sehat.

Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin alias Puput mengungkapkan kondisi polusi di Jakarta sudah sangat parah. Bahkan menimbulkan kerugian yang cukup besar terutama dari sisi kesehatan masyarakat.

"Ada justifikasi kuat DKI Jakarta sudah tercemar, ada justifikasi kuat bahwa masyarakat DKI Jakarta sudah terpapar sakit ataupun penyakit karena pencemaran udara," kata dia, di kantornya, Jumat (16/8/2019).

Adapun penyakit terkait polusi udara diantaranya adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), iritasi mata atau kulit, gangguan fungsi ginjal, bahkan kanker dan kematian dini.

"Yang terpapar sakit harus membayar biaya kesehatan yang sangat mahal sampai dengan Rp 51,2 triliun ya," ujarnya.

Kerugian tersebut, kata dia, baru sebatas nominal biaya kesehatan. Kerugian lainnya berupa kerugian sosial tidak dapat diuangkan namun tentu saja sangat merugikan.

"Itu baru biaya kesehatan ya belum lagi biaya-biaya sosial misalnya sakit ke puskesmas dia juga harus naik angkot, menjadi tidak bekerja, kehilangan pendapatan," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Selanjutnya

Angka kerugian tersebut didapat berdasarkan hasil penelitian kerja sama KPBB dengan United Nations Environment Programme (UNEP) yang dipublikasikan pada 2016.

Penelitian tersebut menggunakan lima parameter penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara, yakni ISPA, jantung koroner, pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK/COPD), dan asma.

Penelitian tersebut menemukan sebanyak 58,3 persen warga DKI atau sekitar 6 juta orang terkena penyakit yang berkorelasi dengan pencemaran udara di atas.

Pengidap ISPA dan asma menyumbang angka terbesar dengan laporan 2,7 juta dan 1,4 juta kasus pada 2016. Jumlah ini melonjak drastis ketimbang pengukuran sebelumnya pada 2010.

Jumlah pengidap ISPA dan asma saat itu sebanyak 2,4 juta dan 1,2 juta orang, serta kerugian warga DKI untuk biaya kesehatan mencapai Rp 38,5 triliun.

"Sebenarnya ada justifikasi kuat DKI Jakarta untuk melakukan langkah - langkah konkrit dalam konteks mengendalikan pencemaran udara," ujarnya.

Beberapa langkah pengendalian pencemaran udara diantaranya adalah pembatasan penggunaan bahan bakar berkualitas rendah, kebijakan ganjil genap dan kebijakan lainnya. Namun semua itu perlu dilakukan secara bersama-sama agar efektif.

3 dari 3 halaman

Kurangi Polusi Udara, Pemerintah Diminta Hapus Premium

Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin alias Puput mengatakan pencemaran udara Jakarta akhir-akhir ini sedemikian parah dengan status tidak sehat. Jakarta juga sering menempati posisi teratas sebagai kota yang paling tercemar di dunia.

Adapun penyumbang terbesar polusi udara jakarta adalah kendaraan bermotor. Sebab, polusi yang dikeluarkan kendaraan melalui knalpot mengandung banyak komponen pencemar udara.

"Usaha pengendalian pencemaran udara Jakarta juga terganjal kebijakan pemerintah regulasi tentang spesifikasi BBM yang dikeluarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Dirjen Migas. Spesifikasi BBM memperbolehkan produsen BBM memasarkan BBM dengan kualitas yang lebih rendah dari kebutuhan teknologi kendaraan bermotor (engine technology requirement)," kata dia, dalam acara diskusi di kantornya, Jakarta, Jumat (16/8/2019).

Padahal, kata dia, selain menyebabkan tingginya emisi gas buang kendaraan bermotor, BBM kualitas rendah juga berpotensi merusak mesin kendaraan.

Untuk itu, Puput mengatakan sudah saatnya Presiden memerintahkan Menteri ESDM untuk merevisi regulasi terkait Spesifikasi BBM demi peningkatan kualitas udara.

Menurut dia, hal ini harus dijadikan momentum penggunaan BBM bersih dan murah. Terutama saat sedang terjadi kiris pencemaran udara di kota-kota besar.

"Harus dijadikan kesempatan untuk memperbaiki kualitas BBM sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan yang telah didesign memiliki emisi yang lebih rendah. Hendaknya ini bisa dijadikan momentum untuk menghapus berbagai jenis BBM yang sesungguhnya sudah tidak dibutuhkan lagi," ujarnya.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com