Liputan6.com, Hong Kong - Tak heran mendengar para miliarder Hong Kong kompak menolak unjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong, sebab kekayaan miliarder merosot akibatnya gejolak politik yang terjadi. Orang terkaya di Hong Kong yaitu Li Ka-shing juga kena imbasnya dan rugi Rp 42 triliun.
Business Insider melaporkan Li Ka-shing kehilangan USD 3 miliar atau Rp 42,7 triliun (USD 1 = 14.233) sejak Juli lalu. Demo berkepanjangan disebut sebagai dalangnya karena membuat performa pasar saham menjadi volatile sehingga berimbas ke kekayaan Hong Kong.
Advertisement
Baca Juga
Li Ka-shing tidak sendirian, Financial Times menghitung bahwa kekayaan sepuluh orang terkaya Hong Kong kehilangan USD 15 miliar (Rp 213 triliun).
Bloomberg melaporkan miliarder Ma Huateng asal China juga kehilangan USD 1,6 miliar (Rp 22,7 triliun). Bos Tencent ikut tersengat efek demo karena memiliki saham di Bursa Efek Hong Kong.
Demo yang sudah berjalan hampir tiga bulan ini juga memengaruhi transportasi darat dan udara Hong Kong. Pekan lalu pengunjuk rasa sempat menduduki bandara dan membuat banyak penerbangan batal.
Situasi pun masih mendidih karena Pemerintahan China menyiagakan pasukan militernya di perbatasan Hong Kong. Sementara, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyarankan Presiden Xi Jinping untuk bertemu pendemo secara langsung.
Li Ka-shing, yang pernah menjadi orang terkaya di Asia, sudah angkat suara pada akhir pekan lalu. Melalui tulisan puitis di koran, ia menolak kekerasan dari semua pihak dan menyebut agar jangan ada lagi yang memperburuk situasi yang sudah buruk di Hong Kong.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Ratusan Ribu Orang Ikut Demonstrasi Hong Kong yang Berjalan Damai
Ratusan ribu orang telah mengadakan protes pro-demokrasi di Hong Kong akhir pekan kemarin, di tengah peringatan yang semakin keras dari pemerintahan pusat China di Beijing.
Aktivis dan polisi telah bentrok selama 10 minggu terakhir, tetapi demonstrasi akhir pekan ini, pada 17 dan 18 Agustus 2019, berjalan damai, demikian seperti dikutip dari BBC, Senin (19/8/2019).
Protes dipicu oleh RUU ekstradisi, yang sejak itu telah ditangguhkan oleh pemerintah Hong Kong hingga "batas waktu yang tidak ditentukan."
China, yang telah mengirim pasukan keamanan di dekat Shenzhen --provinsi yang berbatasan langsung dengan Hong Kong-- menyamakan rangkaian protes berujung rusuh akhir pekan lalu dengan aktivitas teroris.
Kedutaan besarnya di London telah memperingatkan bahwa Beijing "tidak akan duduk dan menonton" jika pemerintah Hong Kong kehilangan kendali atas situasi tersebut.
Penyelenggara protes, the Civil Rights Human Front, tak memiliki izin untuk menyelenggarakan protes di seantero kota, tetapi, polisi mengizinkan demonstrasi hari Minggu terkonsentrasi di Victoria Park.
Salah satu demonstran, bernama Wong, mengatakan kepada BBC Hong Kong, "Kami telah berjuang selama lebih dari dua bulan, tetapi pemerintah kami tidak memiliki respons sama sekali. Kami bisa keluar lagi dan lagi."
Kerumunan besar juga berkumpul di Admiralty, Causeway Bay dan Wan Chai --menentang larangan polisi untuk gelaran selain di Victoria Park.
Penyelenggara demonstrasi mengatakan 1,7 juta orang hadir. Pihak berwenang belum memberikan angka keseluruhan.
Seorang juru bicara pemerintah Hong Kong mengatakan bahwa meskipun demonstrasi pada umumnya damai, mereka telah secara serius mempengaruhi lalu lintas dan menyebabkan banyak ketidaknyamanan.
Dia menambahkan bahwa "paling penting untuk memulihkan ketertiban sosial sesegera mungkin," usai rangkaian demonstrasi di Hong Kong yang telah berlangsung sejak Juni 2019 lalu.
Advertisement
Sekilas Demonstrasi Hong Kong
Rangkaian demonstrasi di Hong Kong telah masuk bulan ke dua, sejak dimulai pada Juni 2019 lalu.
Protes telah menimbulkan keresahan publik dan menuai ketegangan, antara para demonstran yang dikenal sebagai massa pro-demokrasi dengan pemerintah administratif Hong Kong serta pemerintah pusat China di Bejing.
Demonstrasi dipicu oleh penolakan massa terhadap RUU Ekstradisi Hong Kong, yang memungkinkan seorang pelanggar hukum untuk dikirim ke China guna menjalani proses peradilan. Massa menilai RUU itu sebagai bentuk pelunturan terhadap nilai-nilai independensi wilayah otonom eks-koloni Inggris tersebut.
Menyikapi protes berlarut, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menunda RUU tersebut "hingga batas waktu yang tidak ditentukan." Bahkan menyebutnya, "telah mati" demi menenangkan massa.
Namun, demonstran tak puas. Protes terus berlanjut dan bermanifestasi menjadi bentuk protes secara luas terhadap pemerintahan Hong Kong serta China.
Demonstrasi memicu bentrokan antara massa pro-demokrasi dengan aparat, serta massa dengan gerombolan pihak ketiga, yang terjadi di sejumlah titik kota dan objek vital.