Liputan6.com, Jakarta - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode Juni 2019 mengalami defisit sebesar Rp 135,8 triliun. Realisasi tersebut setara dengan 54,3 persen dari estimasi APBN 2019 yang menetapkan proyeksi defisit hingga akhir tahun sebesar Rp 296 triliun.
Lalu bisakah defisit APBN ditekan menjadi surplus?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, mengelola APBN tidak diproyeksi untuk dapat mengubah defisit menjadi surplus. Meski demikian, pemerintah berupaya untuk mengelola perekonomian melalui peningkatan pendapatan negara dari perpajakan.
Advertisement
"Kalau mengelola APBN kita tidak melakukan proyeksi seperti itu. Tapi yang diperhatikan dan terus menerus dikelola bagaimana perkembangan dari perekonomian yang sangat menentukan penerimaan dari perpajakan dan PNBP," ujarnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (19/8).
Baca Juga
Sri Mulyani melanjutkan pendapatan perpajakan negara tentu sangat dinamis dan dipengaruhi oleh komoditas. Hal tersebut tergantung pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, situasi perdagangan dunia dan juga harga berbagai komoditas andalan ekspor.
"Karena itu sesuatu yang dinamis, seperti penerimaan pajak dari ekonomi yang berbasis komoditas ditentukan nilai kurs, harga komoditas, situasi perdagangan internasional dan pengaruhi APBN baik penerimaan pajak maupun bukan pajak," jelasnya.
Dia mengatakan apabila dalam perjalanannya, asumsi perekonomian yang ditetapkan ternyata berbeda dengan kondisi saat ini maka pemerintah akan berupaya mendekatkan pada asumsi awal dengan melakukan berbagai cara.
"Kalau dilihat ada perkembangan dan bergerak berbeda dengan basis asumsi yang jadi landasan awal, maka kita harus lihat bagaimana tren ke depan. Apakah ada faktor lain yang bisa mengkompisite sehingga kita akan berupaya mendekatkan pada asumsi awal, terutama sisi pencapaian," paparnya.
Mantan Direktur Pelaksa Bank Dunia tersebut menambahkan, pemerintah tidak hanya mendesain agar APBN tidak defisit. Akan tetapi bagaimana membuat desain APBN memberi dampak maksimal bagi masyarakat.
"Jadi mengelola APBN ada dinamika yang harus kita kelola terus-menerus. Di sisi lain fokus kita tidak hanya mengelola APBN tapi mengelola ekonomi. Jadi bagaimana APBN tetap jadi katalis dorong perekonomian," tandasnya.
Â
Reporter:Â Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Defisit RAPBN 2020 Ditargetkan 1,75 Persen
Defisit dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020 ditargetkan bisa terjaga di kisaran angka 1,75 persen hingga 1,52 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal itu diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI.
"Sebagai tahun pembuka periode pemerintahan baru, kebijakan makro fiskal dalam tahun 2020 dirumuskan sebagai kebijakan fiskal ekspansif yang terarah dan terukur," kata dia, di Ruang Rapat Paripurna Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Selain itu, keseimbangan primer ditargetkan bisa positif. Sementara rasio utang bisa dijaga di kisaran 30 persen terhadap PDB.
"Defisit dan rasio utang akan tetap dikendalikan dalam batas aman sekaligus mendorong keseimbangan primer yang positif," ujarnya.
Dia memastikan pemerintah akan selalu membuat defisit selalu terukur dan menjaga sumber-sumber pembiayaan secara aman, hati-hati dan berkelanjutan (sustainable). Selain itu, pembiayaan yang kreatif dalam RAPBN 2020 akan dilaksanakan secara hati-hati (prudent).
"Kebijakan pembiayaan juga akan terus dilakukan dengan memberdayakan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan Umum (BLU) dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur," ujarnya.
Pemerintah akan terus mendorong peran swasta dalam pembiayaan pembangunan melalui kerangka Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
"Termasuk mendorong penerbitan instrumen pembiayaan kreatif lainnya," tutupnya.
Â
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com Â
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi
Sebelumnya, pemerintah mengusulkan target pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,3 persen-5,6 persen dalam asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2020.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat paripurna bersama DPR. Dia mengungkapkan usulan tersebut atas dasar pertimbangan beberapa hal, termasuk potensi risiko yang akan dihadapi pada tahun depan.
"Dengan memperhatikan kondisi ekonomi global yang diperkirakan terus berlanjut,"Â jelas dia, di Ruang Rapat Paripurna Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Dia menyebutkan, dinamika ekonomi global masih penuh ketidakpastian. Sebagai contoh, ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas. Ketegangan dagang tersebut menimbulkan kenaikan risiko pada pertumbuhan ekonomi global serta negara lain serta pelemahan perdagangan internasional.
Kendati demikian, dia menegaskan di tengah gejolak ekonomi global Indonesia masih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Terbukti dengan angka 5,07 persen yang diraih pada kuartal I 2019.
"Meskipun momentum pertumbuhan masih dapat dipertahankan di atas 5 persen pada kuartal I 2019, kita harus meningkatkan kewaspadaan terhadap perlambatan faktor ekstemal yang tercermin dari perlemahan pertumbuhan ekspor nasional," ujarnya.
Di sisi lain, langkah pemerintah untuk mengurangi defisit transaksi berjalan juga dapat mengakibatkan perlemahan ekonomi nasional.
"Ke depan, untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, fokus pemerintah tetap harus menjaga pemulihan invetasi dan eskpor. Hal itu dilakukan dengan tetap menjaga pertumbuhan konsumsi melalui perbaikan daya beli, stabilitas harga dan perkuatan kepercayaan konsumen," ujarnya.
Asumsi makro selanjutnya, target inflasi dijaga antara 2,0 hingga 4,0 persen. Tingkat bunga SPN 3 bulan di kisaran 5,0-5,6 persen.
Kemudian nilai tukar Rupiah berada di kisaran Rp 14.000-Rp 15.000 per USD. Harga minyak mentah Indonesia diperkirakan USD 60-70 per barel dengan lifting minyak bumi 695-840 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 1.191-1.300 ribu barel setara minyak per hari.Â