Sukses

Ekonom Pemenang Nobel: Takut Resesi Justru Membuat Jadi Nyata

Ekonom pemenang Nobel Robert Shiller berkata ketakutan mengenai resesi malah bisa membuat hal itu sungguh terjadi.

Liputan6.com, Washington, D.C. - Hingar bingar resesi ekonomi kembali terdengar di Amerika Serikat (AS) karena muncul sebuah "pertanda" pada kurva yield obligasi AS (US Treasury). Pasalnya, imbal hasil tenor dua tahun justru lebih tinggi ketimbang yang tenor 10 tahun. Fenomena yang disebut inverted yield curve itu santer dipandang sebagai pertanda resesi.

Namun, ekonom pemenang Nobel Robert Shiller tak yakin kecemasan resesi akan terjadi, meski pernah ada tujuh kali resesi sesudah terjadinya pertanda ini.

"Hal tersebut memang dikenal sebagai indikator terdepan (terjadinya resesi). Tetapi saya tidak seyakin yang lainnya mengenai hal itu," ujar Shiller seperti dikutip CNBC, Minggu (25/8/2019).

Shiller yang juga mengajar makroekonomi dan ekonomi perilaku di Universitas Yale mengingatkan bahwa ketakutan soal resesi malah bisa menjadi bumerang. 

Ia menjelaskan kecemasan bisa menjadi pemicu resesi karena membuat performa pasar merosot. Kecemasan mengenai resesi itu malah menjadi ramalan yang diwujudkan sendiri (self-fulfilling prophecy).

"Saya mendengar banyak yang membicarakan koreksi pasar, mungkin justru itu yang membuatnya (resesi) terjadi," ucap Shiller yang juga menjabat sebagai profesor Universitas Yale.

CNBC mencatat inverted yield curve adalah pertanda kuat resesi bila itu terjadi dalam periode lama. Sejauh ini, inverted yield curve antara tenor dua tahun dan 10 tahun hanya terjadi singkat seperti yang terjadi Kamis, 21 Agustus 2019 kemarin.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Reaksi Donald Trump

Pada 14 Agustus lalu, hal serupa sempat terjadi. Presiden Donald Trump pun menyalahkan Bank Sentral AS atas terjadinya hal tersebut karena suku bunga masih tinggi.

"Inverted yield curve gila! Kita seharusnya bisa dengan mudah menuai Reward dan Keuntungan, tetapi Fed menahan kita. Kita akan menang!" ujar Trump yang turut menyebut Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell, tidak paham permasalahan. 

Trump menilai ekonomi AS yang sedang kuat justru terkekang oleh kebijakan Bank Sentral AS yang ketat. Gubernur Powell jadi kerap menjadi sasaran kemarahan presiden, dan hasilnya performa pasar saham merosot setiap kali itu terjadi.

Â