Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina mengambil langkah preventif dengan menunda penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) di wilayah Jayapura. Ini menyusul aksi masyarakat di wilayah tersebut pada Kamis (29/8/2019) yang berujung kericuhan.
Unit Manager Communication, Relations, & CSR Marketing Operation Region VIII Maluku-Papua PT Pertamina (Persero), Brasto Galih Nugroho mengatakan,aksi masa yang berujung pada perusakan fasilitas umum dan pembakaran, serta blokade di beberapa titik sepanjang jalur Abepura, Kota Jayapura menyebabkan situasi tidak kondusif untuk penyaluran BBM.
Hingga saat ini, penyaluran menuju lembaga penyalur di wilayah Kota dan Kabupaten Jayapura untuk sementara tidak dapat dilakukan sampai kondisi kembali kondusif. Sementara itu, penyaluran terakhir telah dilakukan pada Kamis pagi namun SPBU memilih tidak beroperasi dengan pertimbangan keamanan.
Advertisement
Baca Juga
"Stok di TBBM Jayapura Jumat (30/8) dalam kondisi aman dan truk tangki telah siap menyalurkan BBM, namun belum dapat disalurkan ke lembaga penyalur sampai kondisi aman," kata Brasto, di Jakarta, Sabtu (31/8/2019).
Penghentian sementara penyaluran BBM untuk mempertimbangkan keselamatan Awak Mobil Tangki (AMT) dan kendaraan pengangkut BBM serta operasional di lembaga penyalur, termasuk personel dan infrastrukturnya.
"Kami berharap agar situasi keamanan dapat segera kondusif kembali dan Pertamina dapat menyalurkan BBM seperti biasanya," tuturnya.
Menurut Brasto tidak semua SPBU di Jayapura tidak beroperasi, masih ada SPBU yang beroperasi berada di wilayah Sentani, Kabupaten Jayapura.Pertamina terus berkoordinasi dengan aparat Kepolisian dan TNI yang melakukan pengamanan sampai situasi kembali aman dan kondusif.
"SPBU di wilayah Sentani yakni SPBU Hawaii Sentani dan SPBU Doyo masih melayani pembelian BBM, sementara SPBU lainnya di wilayah Kota Jayapura tidak beroperasi dengan pertimbangan keamanan," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kuota BBM Berpotensi Jebol Akibat Evaluasi Harga Tak Optimal
Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memprediksi kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi atau Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) berpotensi jebol. Hal tersebut terjadi akibat penyaluran BBM Bersubsidi bocor atau digunakan oleh pihak yang tidak berhak.
Direktur Eksekutif Indonesia Resouces Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, BBM bersubsidi yang digunakan oleh pihak yang tidak berhak merupakan dampak dari penyaluran BBM bersubsidi tidak tepat sasaran.
"APBN telah dikorbankan untuk membiayai subsidi yang tidak tepat sasaran," kata Marwan, di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Seharusnya, pihak yang tidak berhak menggunakan BBM nonsubsidi. "Konsumsi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan mampu, termasuk sektor-sektor perkebunan, pertambangan dan industri yang seharusnya membeli Solar sesuai harga keekonomian," lanjut Marwan.
Menurutnya, kondisi tersebut disebabkan oleh penerapan evaluasi harga BBM bersubsidi setiap 3 bulan yang tidak berjalan, sehingga perbedaan harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi besar. Kondisi ini membuat pihak yang tidak berhak lebih memilih BBM yang harganya lebih murah.
Sebab itu, pemerintah perlu mengkaji ulang dan memperbaiki kebijakan dan peraturan terkait dengan penetapan harga dan subsidi BBM, yakni Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.
"Perpres tersebut telah mengamanatkan untuk melakukan evaluasi harga BBM setiap 3 bulan, tapi evaluasi harga tersebut tidak dilakukan," ujarnya.
Advertisement
Lebih Selektif
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud mengungkapkan, pemerintah harus lebih selektif untuk menentukan kalangan yang berhak mendapatkan subsidi BBM, sebab subsidi merupakan bentuk Perlindungan sosial kepada masyarakat yang tidak mampu, bukan kalangan mampu seperti industri atau pertambangan.
"Perlu upaya untuk mendorong masyarakat agar bersedia menggunakan BBM non subsidi," tuturnya.
Sebelumnya, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengatakan, berdasarkan pengamatan penyaluran solar subsidi, konsumsi bahan bakar tersebut berpotensi melebihi kuota yang ditetapkan pada tahun ini sebesat 14,5 juta Kilo liter (Kl).
"Kita prediksikan potensi over kuota, dari kuota 14,5 juta untuk solar potensi 0,8 sampai 1,3 juta Kl," kata Fanshurullah.
Fanshurullah mengungkapkan, potensi jebolnya kuota solar disebabkan penyaluran BBM bersubsidi yang tidak sesuai dengan ketentuan ‎yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.
Dia menyebut, penyelewangan BBM subsidi dila‎kukan pada kendaraan tambang dan perkebunan. Padahal kendaraan tersebut tidak berhak menggunakan BBM berusbsidi.
“Di duga wilayah penyimpangan BBM subsidi banyak terjadi di daerah tambang dan perkebunan," tandasnya.Â