Sukses

Mantan Gubernur BI: Jangan Sampai Indonesia Krisis

Agus Martowardojo meminta kepada seluruh pihak untuk meningkatkan daya tahan ekonomi Indonesia

Liputan6.com, Jakarta Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo berpesan kepada Pemerintah agar menjalankan perekonomian dengan tata kelola (good governance) yang baik.

Hal itu ia sampaikan dalam acara peluncuran buku biografi perjalanan hidupnya yang berjudul 'Agus Martowardojo Pembawa Perubahan' di Gedung Bank Indonesia.

Kata Agus, Indonesia tidak boleh terperosok pada krisis seperti di tahun 1997-98. Sebab itu, pengambilan kebijakan dan sistem yang berkesinambungan penting untuk diterapkan guna menjaga otoritas meneter.

"Kita mohon jangan sampai Indonesia mengalami krisis lagi. Karena 97/8 itu berat sekali. Itu sampai-sampai Pemerintah keluarkan Kepres dan dibentuk badan penyehatan perbankan nasional," tuturnya di Gedung BI, Senin (2/9/2019).

Dikala dirinya menjabat sebagai Gubernur BI, Agus bercerita banyak ujian yang menimpa industri perbankan. Dirinya pun dituntut melakukan transformasi agar dampaknya tidak terkena ke krisis nasional.

"BI berkoordinasi dengan Pemerintah untuk lakukan stabilisasi dengan menaikan harga BBM. kita. Kita bangun fungsi makroprudensial, kita perkuat ekonomi syariah termasuk perkuat organisasi dengan bangun BI institute," lanjut dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

BI Catat Aliran Modal Asing Masuk RI Capai Rp 180,7 Triliun

Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing masuk ke Indonesia (capital inflow) hingga akhir Agustus 2019 sebesar Rp 180,7 triliun. Inflow tersebut masuk melalui berbagai instrumen.

"Masuk melalui sejumlah instrumen, diantaranya Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 118,9 triliun dan saham sebesar Rp 60,7 triliun," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo saat ditemui di Mesjid Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat (30/8/2019).

Dia menegaskan lancarnya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia menandakan bahwa perekonomian nasional dipandang memiliki prospek yang baik dan investasi imbal hasil yang menarik oleh investor.

"Hal ini menujukkan bahwa seminggu ini ada kenaikan aliran modal asing totalnya Rp 3,2 triliun, ke SBN sebesar Rp 4,1 triliun," ujarnya.

Selain itu, BI mencatat kredit premi risiko yang diukur dengan Credit Default Swap turut menurun sejak lima tahun lalu. Pada minggu ini turun juga 90,4 basis poin atau lebih rendah sebelumnya 0,90 basis poin dari sebelumnya 91,9 basis poin.

"Kebijakan ini ditempuh dengan sejalan tetap rendahnya inflasi dan perlunya dorong perekonomian di tengah kondisi ketidakpastian global. Ke depan kami melihat bahwa ruang masih terbuka untuk kebijakan moneter yang akomodatif," tutupnya.

3 dari 3 halaman

Gubernur BI: Suku Bunga Nol Persen Tak Jamin Ekonomi Maju

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan bahwa suku bunga nol persen sudah terbukti bukan jaminan ekonomi negara bisa maju. Ia berkata sudah ada negara-negara maju yang suku bunganya rendah tapi tak efektif mendorong pertumbuhan.

Perry menyebut kini bank sentral sudah tidak dapat mengandalkan suku bunga saja. Berbagai negara juga mulai memadukan kebijakan suku bunga dan kuantitatif.

"Terlihat di sejumlah negara maju suku bunga sudah nol tapi kurang mampu menjaga stabilitas harga atau bahkan mendorong pertumbuhan, sehingga di sejumlah negara maju melakukan pelonggaran kuantitatif dari sisi uang beredar. Jadi respons kebijakan dari bank sentral tak bisa hanya mengandalkan suku bunga," ujar Perry di Bali, Kamis (29/8/2019).

Gubernur Perry mengingatkan bahwa tugas bank sentral di berbagai negara tak melulu soal suku bunga dan inflasi, tetapi ikut menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga kebijakan makroprudensial diterapkan di berbagai negara.

"Bank sentral perlu mengkomplementer suku bunga dengan stabilitas nilai tukar, kebijakan uang beredar, dengan kemudian makroprudensial," ujar orang nomor satu di Bank Indonesia ini.

Berkurangnya keefektifan suku bunga dinilai Perry sebagai salah satu dari empat tanda melemahnya globalisasi dan bangkitnya digitalisasi. Tiga pertanda lain adalah perang dagang, arus modal dan nilai tukar yang volatile, dan maraknya digitalisasi.