Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana mengubah Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk komoditi gula kristal putih produksi lokal (GKP). Penyesuaian ini diperlukan untuk menjaga kualitas gula kristal putih yang sesuai kebutuhan pasar dan konsumen.
Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro, mengatakan saat ini nilai standar International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) berada di angka 300. Nantinya, akan ditekan menjadi 200.
Â
Advertisement
Baca Juga
"Aku disuruh nyiapin bahan bagaimana tetap meningkatkan kualitas gulanya. Makanya standarnya 300 dan sekarang mau diteken maksimum 200, caranya bagaimana BUMN menekan kualitas gula," kata dia saat ditemui di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Selasa (3/9).
Untuk diketahui, ICUMSA sendiri merupakan salah satu paramater untuk menentukan kualitas gula. Semakin kecil ICUMSA-nya, mutu gula cenderung makin baik dan warna juga makin putih cermerlang.
Wahyu menjelaskkan satu dari tujuh parameter tingkat keputihan terhadap gula terdapat dua SNI, yakni gula kristal putih 1 dan gula kristal putih 2. Di mana, gula kristal putih 1 di bawah 200 dan ke 2 berada dikisaran 200-300.
"Nampaknya Pak Menko (Darmin Nasution) mau nurunin ke 1 yang 200, BUMN bagaimana mengantisipasi itu. Artinya semakin putih menurut asumsi Mendag harus semakin bagus," tandasnya.
Â
Reporter:Â Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Cerita Industri Gula Tanah Air, Sempat Jadi Produsen Terbesar Dunia
Ketua Umum Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) HM Arum Sabil mengeluhkan kondisi industri gula yang saat ini menunjukkan penurunan kinerja. Salah satu bukti yakni jumlah produksi gula yang menurut dia mengalami penurunan.
Dia menuturkan, berdasarkan catatan sejarah, industri gula telah menjadi industri tertua dan unggulan sejak jaman kolonialisme. Pada era sebelum Perang Dunia II tahun 1930-1940, pulau Jawa menjadi salah satu penghasil gula terbesar di dunia, sekaligus sebagai pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba.
Pada waktu itu, pabrik gula di Indonesia bisa menghasilkan hingga 3 juta ton per tahun dengan luas areal lahan tebu sebesar 200.000 hektare.
"Kita kejayaan luas area tebu 200 ribu hektare produksi 2,9 juta ton hampir 3 juta ton. Tahun 1930. Waktu itu dikenal pengekspor terbesar kedua setelah Kuba," ungkapnya, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (28/6/2019).
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang saat ini sedang berjalan. Saat ini luas lahan tebu sekitar 400.000 hektare. Namun produksi gulanya malah turun. Diketahui pada tahun 2018 capaian produksi gula nasional mencapai 2,1 juta ton.
"Di zaman modern luas areal kita berkurang. Tiga tahun kalau 470.000 ha bisa 500.000 ha. tiga tahun belakangan ini jadi luas 400.000 ha, berkurang hampir 70.000 ha," ujar dia.
Advertisement
Sinergi Kebijakan
Dia membeberkan sejumlah faktor yang menyebabkan turunnya industri gula di Tanah Air. Salah satunya disebabkan belum sinergisnya kebijakan pemerintah dengan arah pemberdayaan pertanian tebu.
"Karena tampaknya tidak ada sinergi kebijakan pemerintah dengan arah bagaimana pemberdayaan pertanian. Dan pertanian tebu belakang ini tidak memiliki nilai ekonomi bagi petani sehingga semangat menanam tebu menjadi runtuh. Itu yang buat luas lahan menurun," tandasnya.
Selain itu masalah efisiensi pabrik tebu juga menjadi faktor turunnya industri gula Tanah Air. "Kenapa pada tahun 1930 itu luas 200 ribu ha tapi bisa menghasilkan 3 juta ton? Karena waktu itu punya efisiensi yang sangat tinggi. Rendemennya 12-14 persen," kata dia.\
Faktor berikut yang dia sebut menjadi penyebab, yakni tidak berkembang lembaga riset dan penelitian. Padahal lembaga riset menjadi ujung tombak yang menghasilkan varietas-varietas tebu unggul.
"Saat ini walaupun areal hampir 2 kali lipat, yang terjadi saat ini krisis variasi unggul. Lembaga riset seperti Pusat Penelitian Gula Indonesia di Pasuruan, varietas tebu sampai hampir di atas 5.000 tidak dikelola karena para peneliti dibiarkan terlantar, karena sibuk dengan urusan ekonominya dan lembaga riset ini dibiarkan merana," jelasnya.
"Padahal kita tahu negara-negara produsen gula terbesar di dunia, bisa memiliki daya saing dan maju karena penelitian dan lembaga riset dijadikan garda terdepan," imbuhnya.
Reporter:Â Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com Â