Liputan6.com, Jakarta Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel mengalami kenaikan seiring melonjaknya harga pasaran minyak mentah sawit.
Pada September 2019, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga biodiesel selama sebulan sebesar Rp 6.929 per liter.
Advertisement
Baca Juga
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM mengatakan, harga biodiesel September 2019 naik Rp 134 liter dari bulan sebelumnya. Kenaikan ini harga, dilatarbelakangi meningkatnya harga rata-rata Crude Palm Oil (CPO) KPB menjadi Rp 6.556 per Kg dari sebelumnya Rp 6.394 per Kg.Â
"Besaran HIP biodiesel ini belum ditambah dengan ongkos angkut," kata Agung, dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
HIP biodiesel ini juga akan digunakan untuk pelaksanaan mandatori campuran biodiesel 20 persen persen pada minyak Solar (B20). Besaran harga HIP BBN untuk jenis biodiesel tersebut dihitung menggunakan formula HIP = (Rata-rata CPO KPB + 100 USD/ton) x 870 Kg/m3 + Ongkos Angkut mengikuti ketentuan dalam Keputusan Menteri ESDM No. 91 K/12/DJE/2019.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bioetanol
Selain menetapkan HIP biodiesel, Kementerian ESDM juga menetapkan HIP bioetanol untuk September 2019 sebesar Rp 10.091 per liter. Penghitungannya menggunakan formula (rata-rata tetes tebu KPB periode 3 bulan x 4,125 Kg/L) + USD 0,25/Liter.Â
"Besaran ini lebih rendah dibanding bulan Agustus yaitu Rp 10.200 per liter atau turun Rp 109 liter," tutur Agung.
Konversi nilai kurs sendiri menggunakan referensi rata-rata kurs tengah Bank Indonesia periode 15 Juli hingga 14 Agustus 2019.
Sebagai informasi, HIP BBN ditetapkan setiap bulan dan dilakukan evaluasi paling sedikit 6 bulan sekali oleh Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM.
Advertisement
Pertamina Sudah Campur 3,2 Juta Kl Biodiesel ke Solar
PT Pertamina (Persero) mencatat, realisasi penyerapan Biosolar atau fatty acid methyl ester (FAME) yang dicampur ke solar telah mencapai 3,2 juta kiloliter sampai Juli 2019 atau 59 persen dari alokasi FAME pada 2019.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, realisasi penggunaan FAME dalam Biosolar meningkat seiring upaya Pertamina untuk memasok seluruh industri dengan Biosolar sesuai regulasi.
Jika dibandingkan dengan realisasi penyerapan FAME pada 2018 sebesar 3,2 juta kiloliter, maka penyerapan FAME selama periode Januari-Juli 2019 sudah menyamai realisasi selama satu tahun 2018.
"Pertamina selalu siap memasok kebutuhan industri dengan bahan bakar sesuai yang diperlukan," kata Fajriyah, di Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Per 1 September 2018, implementasi program pencampuran 20 persen FAME ke dalam Minyak Solar atau Biosolar B20 oleh Pertamina sudah diperluas ke sektor non subsidi, sehingga saat ini penjualan B20 sudah dilakukan baik pada sektor PSO maupun non subsidi.
Pertamina kini memiliki 111 Terminal BBM yang siap untuk mendistribusikan B20, sedangkan titik pencampuran FAME dilaksanakan di 29 titik pencampuran yaitu 26 terminal BBM dan tiga kilang.
"Konsumsi Biosolar terbesar ada di sektor transportasi," kata Fajriyah.
Menurutnya, sejak Mei 2019 Pertamina tidak lagi melakukan impor diesel karena kebutuhan Minyak Solar di dalam negeri sudah bisa dipenuhi dari hasil produksi kilang-kilang Pertamina. Untuk sektor industri, Pertamina melayani seluruh sektor industri yang membutuhkan jenis BBM diesel dengan Biosolar.
"Hingga saat ini, sektor listrik dan pertambangan adalah dua sektor terbesar yang menyerap Biosolar," tandasnya.