Sukses

Dirut PTPN III Tersangka Korupsi, Ini Pernyataan Kementerian BUMN

Kementerian BUMN angkat bicara soal penetapan tersangka Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (Persero) Dolly Pulungan

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian BUMN angkat bicara dengan ditetapkannya Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (Persero) Dolly Pulungan (DPU) sebagai tersangka kasus dugaan suap distribusi gula di PTPN III.

Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro mengungkapkan, Kementerian BUMN menghormati proses hukum yang sedang dihadapi PT Perkebunan Nusantara III (Persero) sebagaimana yang disampaikan oleh KPK ke media pada Selasa (3/9/2019).

Dalam pelaksanaannya, Kementerian BUMN meminta agar semua kegiatan terus berpedoman pada tata kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) dan terus mendukung upaya-upaya pemberian informasi yang benar sebagai wujud organisasi yang menghormati hukum.

"Kementerian BUMN meminta manajemen PTPN III untuk melaksanakan dan memastikan operasional perusahaan tetap berjalan dengan baik, terutama terus memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air," tegas Wahyu dalam keterangannya, Rabu (4/9/2019).

Wahyu menegaskan, Kementerian BUMN menghormati dan menjunjung asas praduga tidak bersalah, termasuk mengenai non aktif Dirut dan Direksi akan dikonsultasikan pada Biro Hukum Kementerian BUMN.

"Kementerian BUMN bersama PTPN III siap bekerjasama dengan KPK dalam menangani kasus ini," tegas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Penetapan Tersangka, KPK Minta Dirut PTPN III Menyerahkan Diri

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (Persero) Dolly Pulungan (DPU) sebagai tersangka kasus dugaan suap distribusi gula di PTPN III. Selain Dolly Pulungan, KPK juga menjerat Direktur Pemasaran PT PN III I Kadek Kertha Laksana (IKL) dan pemilik PT Fajar Mulia Transindo Pieko Nyotosetiadi (PNO).

"KPK menetapkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (3/9/2019).

Penetapan tersangka terhadap mereka bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim penindakan. Namun Dolly dan Pieko tak ikut terjaring dalam operasi senyap tersebut. Syarif pun mengultimatum keduanya untuk menyerahkan diri ke Gedung KPK.

"Oleh karena PNO (Pieko) dan DPU (Dolly) telah ditingkatkan statusnya sebagai tersangka dalam proses penyidikan ini, maka KPK mengimbau agar PNO dan DPU segera menyerahkan diri ke KPK," kata Syarif.

Syarif mengatakan, Dolly dan Kadek Kertha Laksana diduga menerima hadiah atau janji terkait distribusi gula di PTPN III Tahun 2019 dari Pieko yang memiliki bisnis di bidang distribusi gula. Kasus ini bermula saat Pieko ditunjuk menjadi pihak swasta dalam skema long term contract dengan PT PNIII (Persero).

Dalam kontrak ini, pihak swasta mendapat kuota untuk mengimpor gula secara rutin setiap bulan. Selama kontrak di PTPN III terdapat aturan internal mengenai kajian penetapan harga gula bulanan.

"Pada penetapan harga gula tersebut, harga gula disepakati oleh tiga komponen yaitu PTPN III, Pengusaha Gula (Pieko), dan ASB selaku Ketua Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI)," kata Syarif.

3 dari 3 halaman

Dolly Meminta Uang

Syarif melanjutkan, pada 31 Agustus 2019 terjadi pertemuan antara Pieko, Dolly, dan Ketua Umum Dewan Pembina APTRI di Hotel Shangrila. Syarif menyebutkan Dolly meminta uang ke Pieko lantaran membutuhkan uang terkait persoalan pribadinya.

"Menindaklanjuti pertemuan tersebut, DPU (Dolly) meminta IKL (Kadek) untuk menemui PNO (Pieko) untuk menindaklanjuti permintaan uang sebelumnya," kata Syarif

Syarif menyatakan uang senilai SGD 345 ribu diduga merupakan fee terkait dengan distribusi gula yang termasuk ruang lingkup pekerjaan PTPN III (Persero).

Sebagai penerima Dolly dan Kadek disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, Pieko sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.