Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian, yang mencakup berbagai substansi yang sangat penting.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, RUU ini untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Dalam bentuk meningkatkan pendanaan investasi, menyesuaikan prinsip income perpajakan untuk wajib pajak orang pribadi dan menggunakan azas teritorial.
"RUU ini juga untuk mendorong kepatuhan wajib pajak secara sukarela, menciptakan keadilan dalam iklim berusaha di dalam negeri, dan menempatkan berbagai fasilitas perpajakan di dalam satu perundang-undangan,” kata dia dikutip dari laman Setkab, Kamis (5/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Beberapa poin penting dari RUU Perpajakanini diuraikan oleh Sri Mulyani , yaitu:
Pertama, yang menyangkut pengaturan yang berhubungan dengan tarif pajak penghasilan. RUU ini nanti akan menyangkut tiga undang-undang yang bisa yang dalam hal ini akan terkoreksi atau terkena, yaitu Undang-Undang PPH (Pajak Penghasilan), Undang-Undang PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dan Undang-Undang KUP (Ketentuan Umum Perpajakan).
“Di bidang PPH, substansi yang paling penting di dalam RUU Perpajakan ini adalah penurunan tarif PPH badan, yang saat ini 25 persen akan diturunkan secara bertahap menjadi 20 persen,” terang Sri Mulyani.
Pemerintah, juga akan memberikan penurunan untuk perusahaan yang go public di bawah tarif PPH yang sudah turun tersebut 3 persen di bawahnya, sehingga kalau mencapai 20 persen, akan bisa mencapai 17 persen.
“Ini sama dengan PPH di Singapura. Dan ini terutama untuk go public baru yang akan masuk ke bursa sehingga mereka bisa mendapatkan insentif. Kita berikan tiga persen lebih rendah dari tarif normal untuk 5 tahun,” ujar Sri Mulyani.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
PPH Atas Dividen
Yang kedua, yang sangat penting di dalam RUU ini nanti adalah menghapuskan PPH atas dividen dari dalam negeri dan dari luar negeri.
Selama ini, menurut Sri Mulyani, dividen yang berasal dari dalam negeri dan dari luar negeri yang diterima oleh PPH badan, kalau dia memiliki saham di atas 25 persen memang tidak dikenakan PPH. Namun kalau dia memiliki saham di bawah 25 persen dikenakan PPH normal, yaitu 25 persen tarif yang sekarang, dan untuk wajib pajak orang pribadi yang mendapatkan dividen juga dikenakan PPH final 10 persen.
“Di dalam RUU ini kami akan menyampaikan semua pajak PPH dividen ini dihapuskan apabila deviden itu ditanamkan di dalam investasi di Indonesia. Jadi ini, baik dividen yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, maka dia akan dibebaskan selama dia diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata dia.
Advertisement
PPH Pribadi
Ketiga, untuk PPH wajib pajak orang pribadi, menurut Menkeu, pemerintah akan menerapkan perubahan rezim perpajakan dari world wide menjadi teritorial. Artinya, warga negara Indonesia maupun warga negara asing akan menjadi wajib pajak di Indonesia tergantung dari berapa lama tinggal di Indonesia, yaitu cut of date-nya 183 hari, dan terhadap subjek pajak tersebut akan dikenakan rezim pajak teritorial.
Yang keempat, lanjut Menkeu, RUU ini bertujuan untuk para wajib pajak lebih complay atau patuh dengan secara lebih mudah. Jadi RUU ini bukan bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak tanpa merasa terbebani terhadap kepatuhan. Ada beberapa hal yang mengurangi keringanan dari sanksi.
“Jadi kalau wajib pajak yang selama ini melakukan pembetulan SPT, baik itu SPT tahunan maupun SPT masa dan kemudian mereka mengalami kurang bayar dan oleh karena itu mereka melakukan pembetulan, mereka selama ini dikenakan sanksi 2 persen per bulan dari pajak yang kurang bayar tadi. Di dalam RUU ini, kami menurunkan sanksinya per bulan menjadi prorata yaitu suku bunga acuan yang ada di pasar + 5 persen,” jelas dia.
Sri Mulyani menambahkan, itu prorata itu artinya tergantung berapa lama mereka berapa panjang, berapa lama kekurangan bayar. Kalau dia hanya 2 bulan ya berarti 2 bulan per 12 dikalikan suku bunga pasar + 5 persen.
Turunkan Sanksi
Selain itu, pemerintah juga akan menurunkan sanksi denda untuk faktur pajak yang tidak dibuat atau faktur pajak yang dibuatnya tidak tepat waktu, selama ini sanksinya adalah 2 persen dari pengenaan pajaknya. Maka di dalam RUU ini, lanjut Menkeu, diusulkan diturunkan dari 2 persen menjadi 1 persen sanksinya.
Yang kelima, pemerintah juga memberikan relaksasi terhadap hak untuk mengkreditkan pajak masukan, terutama bagi perusahaan kena pajak yang selama ini barang yang dihasilkan tidak dikukuhkan sebagai objek pajak dan oleh karena itu mereka sekarang boleh mengkreditkan.
“Jadi berbagai pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan, di dalam RUU ini sekarang bisa dikreditkan. Dikreditkan ini artinya artinya dia boleh diklaim untuk mengurangi pembayaran kewajiban pajaknya,” kata Menkeu.
Advertisement
Insentif
Kemudian yang keenam, RUU ini kita akan menempatkan seluruh fasilitas-fasilitas insentif perpajakan di dalam satu bagian, seperti tax holiday, super deduction, fasilitas PPH untuk kawasan ekonomi khusus, dan PPH untuk surat berharga nasional di pasar internasional.
“Ini semuanya akan dimasukkan di dalam RUU ini, sehingga dia memiliki landasan hukum dan konsistensi dari landasan hukumnya di satu peraturan. Kita tidak mengambil dari peraturan-peraturan yang lain, seperti undang-undang investasi, dan yang lain-lain. Tapi kita masukkan dalam undang-undang perpajakan ini,” tegas Sri Mulyani.
Yang ketujuh, di dalam rangka untuk mengantisipasi dari sisi munculnya fenomena perusahaan digital internasional seperti amazon, google, dan yang lain-lain. Selama ini, menurut Menkeu, perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa dikukuhkan sebagai subjek pajak luar negeri yang bisa melakukan pemungutan pajak yang kemudian disetor, namanya subjek pajak luar negeri.
Dengan undang-undang ini, menurut Menkeu, pemerintah akan menetapkan bahwa perusahaan digital terutama di internasional seperti Google, Amazon, Netflix sekarang bisa memungut, menyetor dan melaporkan PPn.
“Ini tujuannya adalah supaya tidak terjadi penghindaran pajak dari perusahaan-perusahaan internasional dari kewajiban PPn-nya yang mereka bisa pungut karena mereka tahu siapa-siapa yang berapa jumlah volume kegiatan ekonominya. Tarifnya PPn masih sama dengan undang-undang PPn selama ini yaitu 10%,” terang Sri Mulyani.
KOmunike G20
Yang terakhir, lanjut Menkeu, ini ada di dalam komunike dari pertemuan G20 terakhir dan sudah dilakukan di dalam laporan OECD terhadap negara-negara anggota OECD, bahwa dengan adanya ekonomi digital ini sekarang bentuk usaha tetap/badan usaha tetap atau yang disebut permanent establishment selama ini didasarkan pada kehadiran fisik.
“Jadi perusahaan itu harus ada di wilayah teritori Indonesia baru mereka bisa diberikan badan usaha tetap atau permanent establishment,” terang Menkeu seraya menambahkan, di dalam RUU ini sesuai dengan fenomena yang sekarang sudah dikenal mengenai ekonomi yang sifatnya digital across border maka definisi dari badan usaha tetap tidak lagi didasarkan pada kehadiran fisik. Jadi walaupun mereka tidak punya kantor cabang di Indonesia tapi kewajiban pajaknya tetap ada.
“Ini karena mereka memiliki apa yang disebut significant economy present atau kehadiran dari kegiatan ekonomi yang sangat signifikan meskipun mereka tidak punya cabang atau badan usaha tetap di sini,” pungkas Menkeu.
Advertisement