Liputan6.com, Jakarta - Tingkat Pertumbuhan konsumsi baja di Indonesia menempati peringkat pertama di ASEAN pada 2017. Konsumsi terbesar tersebut digenjot oleh besarnya permintaan sektor konstruksi dalam beberapa tahun belakangan.
Peningkatan permintaan sektor konstruksi tersebut diiringi oleh peningkatan kapasitas produksi. Sayangnya, peluang ini juga dibarengi oleh peningkatan masuknya barang impor terutama dari China dan Vietnam.
Berdasarkan data dari BPS, peningkatan ini sebenarnya terlihat dari tahun ke tahun sejak 2013, namun bertambah tinggi mulai 2017-2018. Pemicunya ditenggarai karena harga barang impor adalah 30-40 persen di bawah harga domestik Indonesia.
Advertisement
Direktur Eksekutif Indonesia Zinc Aluminium Steel Industries (IZASI) Maharany Putri mengatakan, besarnya baja impor yang masuk ke Indonesia membuat industri dalam negeri terjepit. Sebab, harga yang ditawarkan oleh China lebih murah.
"Kalau barang impor ini, China dan Vietnam masuk deras, ini seperti tsunami bagi pengusaha dalam negeri. Harga produknya mungkin lebih murah tetapi non standar, ini yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah," ujarnya di Ibis Style, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Reporter:Â Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Subsidi Pemerintah China
Maharany mengatakan, harga produk China lebih murah karena banyaknya subsidi pemerintahnya serta pengalihan kode tarif barang yang berimbas kepada perbedaan bea masuk. Untuk diketahui, China memberikan subsidi 9-15 persen untuk pengusaha jika melakukan ekspor.
"Dan yang paling penting adalah karena bisa masuknya barang yang berkualitas di bawah apa yang sudah ditetapkan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia) sebagai platform regulasi yang berlaku di Indonesia," jelasnya.
Sementara itu, Bendahara Umum IZASI Handaja Susanto mengatakan, situasi yang tidak menguntungkan diperburuk dengan diberlakukannya kebijakan Presiden Trump yang menambah tarif impor sebesar 25 persen untuk baja. Di mana pada saat yang sama Permendag 22/2017 tentang pelonggaran impor, diimplementasikan.
"Akibatnya tahun 2018, Indonesia menjadi tujuan terbesar di antara negara-negara ASEAN yang dibanjiri oleh produk baja RRT dan menjadikan baja berada di peringkat kedua untuk jenis barang impor yang kebanjiran setelah mesin," paparnya,Â
Advertisement
Konsumsi Baja di Indonesia Kalah Dibanding Filipina dan Malaysia
Pemerintahan Jokowi-JK memiliki fokus membangun infrastruktur di seluruh negeri. Namun ironisnya, gencarnya pembangunan tersebut rupanya tidak menjadi angin segar bagi industri baja Tanah Air.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengungkapkan, konsumsi baja Tanah Air sangat rendah. Bahkan kalah dibanding negara tetangga yang sedang tidak menggenjot infrastruktur yaitu Filipina.
Berdasarkan data yang dia peroleh, menurutnya konsumsi baja di Indonesia cuma 52 kilogram (kg) per kapita. Jauh lebih rendah dari Filipina hingga Korea Selatan.
"Kita saja kalah sama Filipina, kalah sama Malaysia. Malaysia hampir 300 kg. Sama Singapura saja kalah, Singapura sudah 400an kg per org per tahun," kata dia dalam Seminar nasional bertajuk 'Mendorong Keterkaitan Antar Sektor Industri dan Antar Wilayah untuk Mendorong Pengembangan Otomotif, TPT dan Alas Kaki' di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Negara dengan konsumsi baja tertinggi saat ini dipegang oleh Korea Selatan, mencapai angka 1.100 kg per kapita.
Adapun rendahnya konsumsi baja di Indonesia ini, kata dia, merupakan salah satu indikasi adanya kekurang handalan proyek-proyek dalam negeri.
"Jadi konsumsi baja per kapita ini bisa kita artikan sebagai dua hal. Satu, industrinya belum terlalu hebat, (kedua) sama infrastrukturnya belum terlalu hebat. Kalau dua-duanya tinggi ini pasti tinggi (konsumsinya)," ungkapnya.
Secara nasional berdasarkan data yang dia paparkan, konsumsi baja pada 2018 adalah sebesar 15,1 juta ton. Sementara pada tahun 2024 konsumsi baja diperkirakan akan mengalami peningkatan lagi menjadi 21,4 juta ton.
Krakatau Steel menyebut yang bisa diproduksi oleh pihaknya sekitar 10 juta ton, sehingga masih ada ruang yang belum bisa dipenuhinya sebesar 11,4 juta ton.
"Jadi ada potensi, 2024 konsumsi baja itu bisa 21 juta ton. kalau Krakatau Steel 10 juta ton artinya masih ada room lagi yang besar," tutupnya.