Liputan6.com, Jakarta - Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti berkata ekonomi Indonesia masih kuat karena memiliko daya beli yang kuat. Ini terutama ditopang oleh dominasi para milenial.
Kondisi di Indonesia berbeda dari masyarakat Eropa dan Jepang yang notabene lebih banyak penduduk usia tua. Di Jepang, populasi yang sedang makin tua (aging population) membawa masalah tersendiri bagi ekonomi mereka.
Advertisement
Baca Juga
Destry berkata populasi tua cenderung tidak konsumtif karena memilih menabung. Itu beda dengan anak muda yang punya buying power kuat, bahkan berani besar pasak daripada tiang, karena karier masih panjang.
"Kalau anak muda, gaji saya Rp10 juta, Rp 20 juta, saya berani belanja Rp 30 juta karena punya future income. Bukannya mengajari mereka konsumtif, tapi konsumtif dan produktif juga," ujar Destry pada Jumat (6/9/2019) di Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat.
Salah satu cara BI mendorong produktivitas adalah dengan lebih aktif di ranah digital untuk menunjang ekonomi digital. BI kini berupaya agar ada interlink antar bank konvensional dan digital agar peran Bank Sentral tetap terjaga
Destry pun mengingatkan supaya perkembangan teknologi jangan dijadikan suatu momok, tetapi justru dirangkul, sembari tetap berpikiran terbuka terhadap pada pengetahuan baru.
"Era digital tak bisa kita hindari. Kita tak boleh against digital economy. Jangan anggap sebagai disruption," pungkas Destry.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BI: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sulit Capai 6 Persen
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo mengungkapkan akan sulit bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi pada angka 6 persen. Ini disebabkan kondisi ekonomi global yang terus-terusan bergejolak.
Padahal, dia meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat jauh lebih baik dari saat ini jika kondisi eksternal kondusif dan tidak memberi banyak tekanan. Padahal, pereknomian Indonesia mengalami banyak peningkatan.
"Pertumbuhan ekonomi kita selalu terkendala. Seandainya memingkat, diikuti juga dengan peningkatan tekanan," kata dia, dalam sebuah acara diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Tekanan dari eksternal tersebut berdampak langsung pada kondisi nilai tukar Rupiah. Yang selanjutnya mempengaruhi pada neraca perdagangan eskpor impor. Impor seperti diketahui selalu beriringan naik dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
Impor yang meningkat akan menggerus ketersediaan Dolar di dalam negeri. Hal itu otomatis membut nilai tukar Rupiah menjadi anjlok.
"Belum lagi karena tekanan kenaikan harga inflasi. Ada kendala dari sisi pertumbuhan ekonomi untuk bisa meningkatkan potensialnya dari saat ini. Ini mengapa pertumbuhan ekonomi 5,1-5,2 persen (padahal) keinginan kita selalu mencapai 6 persen," ujarnya.
Advertisement