Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) ternyata juga memantau twit dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Jempol Donald Trump terbilang sakti karena mampu menggerakan pasar saham dan ekonomi dunia
"Ketidakpastian memang tinggi sekarang tapi tetap barometenrya itu adalah Amerika. Kita lihat Amerika mau ke mana arahnya ke mana. Sementara di Amerika sendiri yang nentuin cuman satu: Trump. Trump bunyi di Twitter, pasar bergerak," ungkap Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti pada Jumat (6/9/2019) di Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat.
Advertisement
Baca Juga
Sama seperti ekonomi global, twit dari Presiden Donald Trump juga dinilai penuh ketidakpastian. Destry mencatat pekan lalu dunia masih muram karena perang dagang tampak semakin parah, tetapi pekan ini Trump menyebut akan lanjut bernegosiasi dengan China di bulan Oktober.
"Gara-gara dia ngomong begitu, padahal terealisasi juga belum, market berbalik, pagi tadi dibuka Dow Jones langsung naik tinggi," kata Destry.
Jika itu terjadi, maka bonds pun otomatis akan terkoreksi akibat aksi jual. Destry mengaku kurang respek dengan tindak permainan isu tersebut, sebuah itu membuat pihak tertentu bisa menyesuaikan naik-turunnya harga dolar sesuai kebutuhan.
"Sampai kami (ekonom) berpikir, enak banget yang gerakin dunia dan bikin negara pontang-panting," ujar Destry.
Destry berkata efek lain dari perang dagang adalah membuat banyak negara menurunkan suku bunga mereka dan makin jor-joran dalam hal fiscal policy. Sementara, Indonesia memilih tetap fokus agar bisa prudent dalam ekonomi.
"Fiscal deficit kita pada 2020 dipertahankan di level 1,76 persen, which is very, very, conservative. Kenapa? Kita mau menjaga prudent-nya," pungkas Destry.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mantan Gubernur BI: Jangan Sampai Indonesia Krisis
Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo berpesan kepada Pemerintah agar menjalankan perekonomian dengan tata kelola (good governance) yang baik.
Hal itu ia sampaikan dalam acara peluncuran buku biografi perjalanan hidupnya yang berjudul 'Agus Martowardojo Pembawa Perubahan' di Gedung Bank Indonesia.
Kata Agus, Indonesia tidak boleh terperosok pada krisis seperti di tahun 1997-98. Sebab itu, pengambilan kebijakan dan sistem yang berkesinambungan penting untuk diterapkan guna menjaga otoritas meneter.
"Kita mohon jangan sampai Indonesia mengalami krisis lagi. Karena 97/8 itu berat sekali. Itu sampai-sampai Pemerintah keluarkan Kepres dan dibentuk badan penyehatan perbankan nasional," tuturnya di Gedung BI, Senin (2/9/2019).Â
Dikala dirinya menjabat sebagai Gubernur BI, Agus bercerita banyak ujian yang menimpa industri perbankan. Dirinya pun dituntut melakukan transformasi agar dampaknya tidak terkena ke krisis nasional.
"BI berkoordinasi dengan Pemerintah untuk lakukan stabilisasi dengan menaikan harga BBM. kita. Kita bangun fungsi makroprudensial, kita perkuat ekonomi syariah termasuk perkuat organisasi dengan bangun BI institute," lanjut dia. Â
Advertisement
BI Catat Aliran Modal Asing Masuk RI Capai Rp 180,7 Triliun
Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing masuk ke Indonesia (capital inflow) hingga akhir Agustus 2019 sebesar Rp 180,7 triliun. Inflow tersebut masuk melalui berbagai instrumen.
"Masuk melalui sejumlah instrumen, diantaranya Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 118,9 triliun dan saham sebesar Rp 60,7 triliun," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo saat ditemui di Mesjid Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat (30/8/2019).
Dia menegaskan lancarnya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia menandakan bahwa perekonomian nasional dipandang memiliki prospek yang baik dan investasi imbal hasil yang menarik oleh investor.
"Hal ini menujukkan bahwa seminggu ini ada kenaikan aliran modal asing totalnya Rp 3,2 triliun, ke SBN sebesar Rp 4,1 triliun," ujarnya.
Selain itu, BI mencatat kredit premi risiko yang diukur dengan Credit Default Swap turut menurun sejak lima tahun lalu. Pada minggu ini turun juga 90,4 basis poin atau lebih rendah sebelumnya 0,90 basis poin dari sebelumnya 91,9 basis poin.
"Kebijakan ini ditempuh dengan sejalan tetap rendahnya inflasi dan perlunya dorong perekonomian di tengah kondisi ketidakpastian global. Ke depan kami melihat bahwa ruang masih terbuka untuk kebijakan moneter yang akomodatif," tutupnya.Â