Liputan6.com, Jakarta - World Bank atau Bank Dunia memprediksi perekonomian Indonesia akan terguncang pada akhir 2019 ini akibat trade war atau perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta potensi resesi ekonomi di Negeri Paman Sam.
Kedua faktor tersebut disebut bakal memicu capital outflow atau keluarnya dana asing yang sangat besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Menanggapi hal tersebut, Institute for Development of Economics and Finances (Indef) mengatakan, konsumsi rumah tangga dapat menjadi perisai pelindung dari guncangan ekonomi eksternal.
Advertisement
Baca Juga
"Betul ada risikonya, tapi menurut saya konsumsi rumah tangga tetap menjadi penahan guncangan eksternal. Ini karena porsi konsumsi rumah tangga 57 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto)," jelas Ekonom Indef Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com, Sabtu (7/9/2019).
Bhima menyarankan, pemerintah harus bisa memperkuat aliran modal keluar guna memastikan daya beli masyarakat tetap dapat terjaga baik.
"Selama daya beli masih terjaga, shock eksternal seperti capital outflow dampaknya bisa diminimalisir. Kunci di 2020 adalah mempertahankan belanja masyarakat," imbuh dia.
Selain besarnya capital outflow, Bank Dunia juga menyatakan bahwa ekonomi Indonesia masih dibayangi oleh pelebaran defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Lembaga memperkirakan, CAD Indonesia pada akhir tahun ini akan sebesar USD 33 miliar, atau naik USD 2 miliar dari 2018.
Sebaliknya, investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia diprediksi hanya USD 22 miliar hingga akhir 2019. Dengan begitu, Indonesia membutuhkan arus masuk (capital inflow) sekurang-kurangnya USD 16 miliar per tahun demi menutupi kesenjangan defisit tersebut.
"Indonesia akan menderita lantaran dampak negatif ekonomi dari arus keluar portofolio," tulis Bank Dunia dalam sebuah laporan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Gubernur BI: Perang Dagang jadi Tanda Kematian Era Globalisasi
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan keynote speech pada Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BEMB) yang ke-13. Acara yang berlangsung di Bali ini dihadiri akademisi dari seluruh dunia dan bertajuk menjaga stabilitasi di era disrupsi digital.
Pidato Gubernur Perry bertema Dead of Globalization and the Rise of Digitalization (Kematian Globalisasi dan Kebangkitan Digitalisasi). Ia mengajak para akademisi dan pengambil kebijakan memahami pertanda terjadinya fenomena itu demi merespons secara bijak dan Perry menyebut ada empat pertanda.
"Bank Sentral mesti memahami lebih baik apa saja karakteristik di era kematian globalisasi dan kebangkitan digitalisasi. Karakteristik pertama adalah kebangkitan anti-perdagangan global. Kita sedang menghadapi perang dagang antara AS dan China, serta AS dengan negara lain," ujar Gubernur Perry pada Kamis (29/8/2019) di Bali.
Menurutnya, perang dagang justru berbeda dari teori-teori ekonomi yang ada karena perdagangan global justru bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan kemakmuran. Efek perang dagang pun menjalar ke negara-negara lain, termasuk negara Asia.
"Ini perlu kita sikapi bahwa ketegangan perdagangan tidak baik. Itu akan menurunkan perdagangan internasional, menurunkan pertumbuhan ekonomi tak hanya dua negara yang berperang tapi juga semua negara," ujar Perry.
Gubernur BI juga mengingatkan pertanda lain kematian globalisasi dan bangkitnya digitalisasi, yakni seperti arus modal antar negara dan nilai yang volatile, respons Bank Sentral yang perlu ditingkatkan, serta maraknya digitalisasi sektor keuangan.
Kalangan ekonom memprediksi AS akan mengalami resesi pada 2021 mendatang jika perang dagang berlanjut antara AS-China. Proteksionisme AS juga berpotensi berlanjut jika Presiden Trump terpilih kembali di pemilu 2020.
Advertisement
Perang Dagang Masih Jadi Pemicu Perlambatan Ekonomi RI
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memaparkan berbagai kondisi tantangan perekonomian Indonesia yang saat ini sedang dihadapi. Menurutnya, perlambatan ekonomi saat ini ada karena isu ketidakpastian terhadap perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Menteri Sri Mulyani mengatakan, dari segi perdagangan semua negara kini mengikuti ketegangan hubungan perdagangan antara AS dan China. Kondisi itu semakin lama membuat pesimisme bagi pertumbuhan ekonomi global yang bisa tahan dari kekhawatiran resesi.
"Keputusan terbaru dari AS untuk menaikkan tarif dan retalasi terhadap China. Mereka terus berperang kenaikan tarif satu sama lain. Situasi global ini membuat para pembuat kebijakan yang pernah menghadapi krisis ekonomi benar-benar bekerja untuk memastikan kondisi ekonomi membaik setelah krisis, kini justru kembali melemah," jelas Sri Mulyani di saat menjadi pembicara di Aula Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Sri Mulyani mengatakan dalam konteks G20, para pembuat kebijakan pun terus membuat perubahan demi memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi yang kuat dan menyelesaikan isu perdagangan yang kian memanas.
"Hal ini yang kita perlu lakukan untuk menghadapi apa yang kita lihat saat ini," imbuh dia.