Sukses

Tak Jadi Lawan Donald Trump, Miliarder Starbucks Batal Maju Jadi Capres AS

Miliarder ini batal jadi capres AS untuk pemilu tahun depan. Uang kampanye pun akan disumbangkan.

Liputan6.com, Washington, D.C. - Miliarder Howard Schultz sekaligus mantan CEO Starbucks menulis surat terbuka bahwa ia membatalkan rencana menjadi calon presiden Amerika Serikat (AS). Keputusan diambil setelah melihat kondisi politik AS yang saat ini kurang menguntungkan capres independen seperti dirinya.

Alasannya, kehadiran capres independen seperti Schultz mengancam bisa memecah dukungan di kalangan partai oposisi. Bila demikian, maka presiden petahana Donald Trump malah bisa kembali terpilih dan Schultz ingin mencegah itu.

"Hari ini, tidak cukup banyak orang yang mau mempertimbangkan mendukung kandidat independen karena hal itu ditakutkan berujung pada pemilihan kembali presiden petahana yang membawa bahaya yang tak bisa," ujar Schultz dalam situs resminya howardschultz.com, Selasa (10/9/2019).

Masalah kesehatan juga menjadi alasan sang miliarder mengurungkan rencana sebagai capres. Sejak Juni lalu, ia mengaku menderita sakit di punggung dan harus dioperasi.

Latar belakang Schultz sebagai CEO sukses di Starbucks menjadi modalnya untuk maju sebagai capres. Secara keuangan pun ia sudah aman karena punya kekayaan US 4,6 miliar atau Rp 64,7 triliun (USD 1 = Rp 14.070).

Uang yang ia siapkan demi menjadi capres pun akan ia sumbangkan ke berbagai pihak, seperti yayasan. Schtulz pun berjanji akan terus berjuang demi masyarakat, meski tak lewat jalur pemerintahan.

"Uang yang saya siapkan untuk kampanye presiden akan saya investasikan ke masyarakat, berbagai organisasi, dan gagasan yang memproomsikan kejujuran, adab, yang menghasilkan hasil di perpolitikan kita," ujar Schultz.

Schultz mengumumkan niatnya sebagai capres pada Januari lalu. Ia mengaku tak senang melihat elit politik di Washington, D.C., yang lebih memilih kepentingan partai ketimbang menyelesaikan masalah.

Ia adalah satu dari empat miliarder yang sempat dikabarkan menjadi capres pada pilpres AS 2020. Tiga lainnya adalah Tom Steyer, Jamie Dimon, dan Michael Bloomberg. Steyer sudah resmi berkampanye, sementara Bloomberg dan Dimon resmi mengumumkan tak akan menjadi capres.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Sempat Dicibir karena Status Miliarder

Niat Schultz menjadi miliarder oleh Senator Elizabeth Warren yang kini juga maju sebagai capres Partai Demokrat untuk melengserkan Donald Trump. Schultz pun gerah akibat kritikan Warren terhadap kekayaannya. 

Miliarder Howard Schultz, makin gerah akibat kritikan atas kekayaannya. Ini terjadi karena mulai muncul tudingan tidak sedap terkait cita-citanya menjadi presiden Amerika Serikat (AS).

Salah satunya adalah fakta bahwa Schultz adalah seorang miliarder. Itu disinyalir membuatnya tidak memahami kehidupan sehari-hari masyarakat umumnya. Ia pun angkat suara dan menyatakan kehidupannya justru merupakan "American Dream" karena sukses karena keringat sendiri. 

"Saya dikritik karena seorang miliarder. Mari kita bahas itu. Saya berusaha sendiri ... Saya berpikir demikianlah mimpi orang Amerika, aspirasi Amerika," ujar Schultz di MSNBC.

Ia pun menjelaskan segudang prestasi yang diraihnya kala menjadi bos Starbucks. Di antaranya adalah jaminan kesehatan, pemberian saham, dan biaya kuliah gratis. 

"Dan Elizabeth Warren (senator Partai Demokrat) ingin mengkritik saya karena sukses?" ujarnya. Warren sempat saling sindir dengan Schultz perihal masalah pajak miliarder. Mantan CEO Starbucks ini menilai wacana Warren berbau sosialisme.

Mengenai partai, Schultz mengaku bukan anggota Partai Demokrat atau Partai Republik. Ia juga percaya sistem perekonomian AS perlu dirombak.

3 dari 3 halaman

Perihal Orang Kaya yang Menguasai Politik

Mantan CEO Starbucks Howard Schultz juga jengah dengan sebutan miliarder. Ia menganggap julukan itu membawa konotasi negatif.

Melansir Business Insider, Schultz menjawab pertanyaan apakah miliarder memegang terlalu banyak kekuasaan politik di Ameriak Serikat (AS). Schultz malah terusik akibat pertanyaan tersebut dan cuplikan videonya sempat viral di Twitter.

Ia menilai, predikat miliarder telah memiliki konotasi tertentu, tidak sekadar menggambarkan orang berharta. Perihal orang-orang yang memakai harta demi menguasasi politik, Schultz tak mau menyebutnya miliarder.

"Saya lebih suka mengganti kalimat itu dan memanggilnya sebagai orang-orang berharta yang meningkatkan kekayaan dan kepentingan mereka lewat cara tidak adil," ujar Schultz.

Meski begitu, mantan CEO Starbucks itu mengakui ada orang-orang kaya dan korporasi yang memiliki kekuatan signifikan dalam memengaruhi politik negaranya.

"Mereka memiliki pengaruh yang (besarnya) sulit dipercaya kepada para politisi yang berada dalam kedua partai (Demokrat dan Republikan)," ungkap Schultz