Sukses

Tak Semua Iuran Peserta BPJS Kesehatan Naik 100 Persen, Ini Rinciannya

Kenaikan iuran sebesar 100 persen hanya berlaku untuk peserta BPJS Kesehatan Kelas 1 dan Kelas 2.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen mulai 1 Januari 2019. Namun demikian, kenaikan sebesar itu tidak diperuntukkan bagi semua kelas keanggotaan BPJS Kesehatan.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti mengatakan kenaikan 100 persen hanya berlaku untuk peserta BPJS Kesehatan Kelas 1 dan Kelas 2. Sementara untuk kelas 3, kenaikannya tidak sebesar itu.

"Untuk Kelas 3, usulan kenaikannya adalah dari Rp 25,5 ribu menjadi Rp 42 ribu, atau naik 65 persen," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (8/9/2019).

Selain itu, lanjut dia, selama ini peserta mandiri merupakan penyebab defisit JKN terbesar. Sepanjang 2018, total iuran BPJS Kesehatan dari peserta mandiri adalah Rp 8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai Rp 27,9 triliun. Dengan kata lain, claim ratio dari peserta mandiri ini mencapai 313 persen.

"Dengan demikian, seharusnya kenaikan iuran peserta mandiri lebih dari 300 persen. Kalau begitu, mengapa usulan kenaikan iurannya hanya 100 persen untuk Kelas 1 dan Kelas 2 serta 65 persen untuk Kelas 3?," jelas dia.

"Karena dalam menaikkan iuran ini, Pemerintah mempertimbangkan tiga hal utama yaitu kemampuan peserta dalam membayar iuran (ability to pay), upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN sehingga terjadi efisiensi, serta gotong royong dengan peserta pada segmen lain," lanjut dia.

Intinya, kata Nufransa, Pemerintah sangat memperhitungkan agar kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan. Sangat berjauhan dengan tuduhan yang mengatakan bahwa pejabat publik sangat zalim kepada rakyatnya sendiri.

"Tuduhan keji tanpa dasar," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen per 1 Januari 2020

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II akan naik secara efektif pada 1 Januari 2020. Masing-masing kelas ini akan naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu dan Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu.

"Yang kelas I dan kelas II, 1 Januari 2020 jadi Rp160.000 dan Rp110.000, sehingga kita bisa sosialisasi untuk masyarakat," ujar Mardiasmo usai menghadiri rapat kerja dengan DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).

Mardiasmo mengatakan, kenaikan tersebut tinggal menunggu persetujuan Presiden Jokowi melalui penerbitan Peraturan Presiden (PP). Aturan baru tersebut direncanakan rampung dalam waktu dekat.

"Ini kan kelas I Rp160.000, kan yang sekarang (kenaikan ditolak DPR) PBI kelas III. (Naiknya untuk kelas I dan II) nunggu perpres dulu ya. Kita menutup defisit dengan cara menyesuaikan iuran," jelasnya.

Mardiasmo melanjutkan, kenaikan BPJS Kesehatan bakal mampu menambal defisit yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Dia juga menegaskan, defisit tidak bisa ditutupi jika hanya menaikkan iuran kelas III atau PBI.

"Tidak cukup menaikkan iuran PBI saja. Kelas I dan II juga harus dinaikkan. Yang kaya, bantu miskin. Yang sehat, bantu sakit. Itu kan untuk sosial. Kalau dihitung-hitung 2020 sudah tidak terlalu besar defisit," jelasnya.  

3 dari 3 halaman

BPJS Kesehatan Defisit Terus, Ini Sebabnya

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris membeberkan penyebab perusahaannya terus mengalami defisit setiap tahun. Pertama, tingkat penggunaan layanan (utilisasi) BPJS Kesehatan yang kian meningkat setiap tahun.

"Tentu semua pihak bertanya menyapa setiap tahun defisit ini semakin lebar, ini tentu sangat terkait dengan pertama akses semakin baik jadi rate utilisasi. Dulu kita punya data saat awal program kerja berjalan untuk masyarakat miskin tidak mampu ratenya sangat kecil, sekarang sudah mendekati rate rata-rata," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).

Faktor kedua penyebab defisit bengkak kata Fahmi adalah, fasilitas kesehatan (faskes) yang semakin banyak. Kemudian juga ditemukan semakin banyak penyakit yang harus ditanggung menggunakan BPJS Kesehatan.

"Kedua, jadi akses semakin baik, faskes semakin bertambah, masyarakat semakin sadar, kemudian juga pola epitimologi penduduk Indonesia di mana penyakitnya endotrophic dominan pola pembiayaan selama ini," jelasnya.