Liputan6.com, Jakarta - Persoalan pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK untuk sektor pariwisata tidak seperti pembetukan KEK Industri pada umumnya. Masalah utamanya ada pada lahan.
Ketua Pokja Industri Pariwisata Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN)Â Dony Oskaria mengatakan sejatinya KEK pariwisata tidak memerlukan hamparan berupa lahan atau tanah, sebagaimana regulasi KEK pada umumnya. Karena pariwisata terkait dengan atraksi-aktraksi di destinasi yang posisi geografisnya belum tentu bisa diikat oleh luas lahan terntentu.
"Penekanan KEK Pariwisata haruslah pada persoalan insentif atau disentif, kemudahan regulasi, kemudahan pajak, dan lain-lain dalam suatu kawasan, yang belum tentu berupa hamparan atau daratan,"Â kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (8/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Dony, yang dimaksudkan KEK pariwisata adalah attraction atau destinasi, yang tak semuanya bisa dikunci lokasinya pada suatu dataran tertentu atau zona tertentu dalam radius tertentu pula. KEK pariwisata harus ditentukan berdasarkan destinasi.
Dari situ kemudian baru bisa dikembangkan ekosistem penunjang pariwisata yang dapat diberikan insentif fiskal berupa keringanan pajak, kemudahan perijinan, dan lainya
Dony mengambil contoh desinasi Danau Toba. Seharusnya yang diberi trigger sebagai kawasan khusus adalah radius di sekeliling Danau Toba, yang dikembangkan untuk memperkuat ekosistem pariwisata seperti penciptaan attraction, hotel, dan lain-lain.
"Bukan seperti yang dilakukan saat ini dengan membuat kawasan baru yang tidak mungkin akan dapat berjalan maksimal, karena mematok lahan tertentu yang lokasinya kurang terlalu terkait dengan main attraction Toba, yakni Danau," kata dia.
Â
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Candi Borobudur
Demikian juga dengan Borobudur, lanjut Dony, yang seharusnya menjadi kawasan khusus adalah radius di sekitar Borobudur.
"Kesalahan ini menyebabkan KEK saat ini tidak berkembang karena konsep pengembangan sedari awalnya sudah kurang tepat" ucap Dony
Menurut Dony, semuanya harus diawali dengan pembuatan Masterplan pengambangan pariwisata yang jelas, yang bertujuan untuk menyempurnakan suatu destinasi.
Master plan tersebut nantikan akan menentukan batasan pengembangan yang sesuai dengan peruntukannya, ada pembagian zonasi yang jelas, mana yang akan dikembangkan menjadi mass tourism mana yang memang diproteksi sehingga menjadi high end tourism.
"Jika tidak hati-hati, akan banyak destinasi kita nanti yang akan hancur. Oleh karena itu, sebelum mengembangkan suatu kawasan, masterplannya harus jelas terlebih dahulu, alias arahnya arus ditentukan secara jelas dan sesuai dengan peruntukan dasarnya," tutup Dony.
Advertisement