Sukses

Menko Luhut Minta Amien Rais Tak Usah Berkomentar Soal Pemindahan Ibu Kota

Amien Rais tak mengakui kajian yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terkait rencana pemindahan ibu kota.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta agar Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais tidak terlalu banyak berkomentar mengenai rencana pemindahan ibu kota negara. Luhut pun menyarankan agar Amien Rais berkomentar terkait hal yang dipahaminya saja.

"Jangan komentar apa yang tidak tahu. Kalau tahu politik, yah politik aja, jangan komentar-komentar yang enggak paham lah. Kalau enggak tahu soal pertahanan tanya saya, atau kalau memang enggak mengerti yah enggak usah komentar," kata Luhut saat ditemui di DPR RI, Jakarta, Senin (9/9/2019).

Sebelumnya, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) menolak rencana pemindahan ibu kota. Sebab, menurut dia, pemindahan itu lebih banyak keburukannya dibanding keuntungannya.

"Menurut saya udahlah, sudah cukup dari semua argumen ini. Lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya," kata Amien di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9).

Amien juga tak mengakui kajian yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terkait rencana pemindahan ibu kota. Dia menilai kajian tersebut pesanan dari China

"Sesungguhnya memindah Jakarta bukan karena menunggu studi Bappenas, tapi Studi Beijing. Itu jelas sekali," ungkapnya.

Tambahnya, pemindahan ibu kota juga bisa mempercepat pengambilalihan kedaulatan Indonesia oleh China. Pasalnya, Presiden China Xi Jinping dalam pandai mengatur strategi menguasai negara-negara.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Bagaimana Status Jakarta Setelah Ada Ibu Kota Baru?

Pemerintah akan memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke wilayah yang bersinggungan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dari sisi hukum ketatanegaraan, tindakan hukum pemindahan ibu kota merupakan kebijakan hukum yang sangat futuristik bagi masa depan Republik Indonesia.

“Khususnya bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan yang lebih modern,” kata Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid dalam keterangan tertulis.

Dia menyebutkan, pemindahan ibu kota sebelumnya sudah pernah dilakukan, namun dalam konteks keadaan darurat. “Secara konstitusional harus dibaca dalam kerangka serta konteks darurat negara,” jelasnya. 

Pertama, perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta ketika terjadi Agresi Militer I Belanda pada 29 September 1945, berselang lima bulan setelah deklarasi kemerdekaan RI. Prosesnya, pada 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirim kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibu kota NKRI dipindahkan ke Yogyakarta.

Pada 4 Januari 1946, Presiden Soekarno memindahkan ibu kota negara ke Yogjyakarta untuk pertama kalinya. Alasan yang paling mendasar pada saat itu adalah karena Jakarta telah jatuh ke tangan Belanda. Sementara Yogyakarta dinilai paling siap dari sisi ekonomi, politik, dan keamanan.

Namun, Agresi Militer belanda II pada 29 Desember 1948 mengakibatkan jatuhnya Yogyakarta sebagai ibu kota NKRI ke tangan Belanda. Selanjutnya Presiden Soekarno memberikan surat kuasa kepada Safruddin Prawiranegara yang berada di Bukit Tinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat.

Pada 22 Desember 1948, Syarifudin Parwiranegara mengumumkan bedirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi Sumatera Barat. Maka Bukittinggi menjadi ibu kota pemerintahan darurat.

Setelah kondisi pemerintahan kembali normal, ibu kota kembali ke Jakarta.