Liputan6.com, Jakarta - PT PP (Persero) Tbk telah melakukan penandatanganan kontrak pembangunan dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di dua lokasi, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara.
Masing-masing pembangkit berkapasitas 2x50 MW berlokasi di Desa Panaf, Kupang Barat, Nusa Tenggara Timur akan mengisi luasan sebesar 30 hektar dan pembangkit lainnya berada di Desa Bolaang Mangitang Timur, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara mengisi luasan sebesar 32 hektar milik PT PLN (Persero).
Advertisement
Baca Juga
Acara penandatanganan kontrak dihadiri oleh Direktur Utama Perseroan Lukman Hidayat beserta seluruh partner yang bertanggungjawab dalam penyelesaian proyek di Kantor Pusat PLN Jakarta.
Direktur Utama PTPP Lukman Hidayat mengatakan, dalam kontrak ini Perseroan berperan sebagai kontraktor yang akan bertanggungjawab dalam penyelesaian proyek, dengan bekerjasama bersama beberapapartner.
"Perseroan optimis dapat menyelesaikan proyek tersebut untuk unit pertama selama 36 bulan dan unit kedua selama 39 bulan. Dengan target tersebut, Perseroan optimis kedua PLTU tersebut dapat beroperasipada tahun 2022," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Proyek pembangunan PLTU Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara ini akan menelan investasi dengan potensi nilai total investasi mencapai lebih dari Rp 8 Triliun, di mana nilai kontrak Perseroan mencapai Rp 2,1 triliun.
Dengan pembangunan PLTU Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara ini, diperkirakan akan melistriki beberapa desa dan kecamatan untuk di Nusa Tenggara Timur dan juga Sulawesi Utara dan sekitarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
PLTU Skala Besar Beroperasi, Tarif Listrik Bisa Turun
PT PLN (Persero) memperkirakan tarif listrik akan mengalami penurunan tahun depan. Penurunan tersebut dengan beroperasinya beberapa Pembangkit Listrik ‎Tenaga Uap (PLTU).
Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, PLTU yang merupakan bagian dari program 35 ribu MW berkapasitas besar akan banyak yang beroperasi pada tahun depan. Hal ini akan menurunkan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik yang berdampak pada penurunan tarif listrik.
"Kalau 35 ribu MW sudah masuk maka turun kan (tarif). Bisa murah karena banyak PLTU," kata Djoko, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/6/2019). Â
Untuk diketahui,‎ biaya pokok produksi PLTU saat ini berada di USD 6 sen, jauh lebih murah ketimbang pembangkit jenis lain. Dengan kehandiran PLTU dapat menurunkan rata-rata biaya produksi listrik.
Djoko mengungkapkan, agar biaya produksi listrik tetap murah maka ‎harga batu bara harus ada kebijakan harga khusus untuk sektor kelistrikan. Saat ini, pemerintah sudah menetapkan harga patokan tertinggi batu bara khusus untuk kelistrikan sebesar USD 70 per ton.
Namun kebijakan itu hanya berlaku sampai akhir 2019. Oleh karena itu, Djoko pun menginginkan, kebijakan tersebut tetap berlaku pada 2020, sehingga tarif listrik tetap terjangkau masyarakat.
Saat ini PLN dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM‎) sedang membahas agar harga patokan tertinggi batubara sebesar USD 70 per ton tetap berlaku tahun depan.
"Lagi dibahas, kita habis tahun ini, kita minta teruslah atau suruh cabut biar harga di rakyat," tandasnya. Â
Advertisement
Aturan Harga Batu Bara Khusus Kelistrikan Kemungkinan Berlanjut di 2020
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum membahas perpanjangan kebijakan harga batu bara khusus untuk sektor kelistrikan. Saat ini, Kementerian ESDM mematok harga tertinggi batu bara khusus sektor kelistrikan di angka USD 70 per ton.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan, kebijakan patokan harga batu bara tertinggi USD 70 per ton ditetapkan berlaku hingga akhir 2019. Namun apakah kebijakan tersebut akan diperpanjang untuk tahun berikutnya, Kementerian ESDM belum‎ membahas.
"Aturannya sampai 2019. Untuk selanjutnya belum ditetapkan. Nanti kita lihat," kata Bambang, di Jakarta, pada Rabu 26 Juni 2019.Â
Namun Bambang memberi sinyal, kebijakan penetapan harga tertinggi batu bara sebesar USD 70 per ton‎ sangat baik jika diterapkan kedepannya.
Menurutnya, sektor kelistrikan merupakan konsumen potensial yang memberikan kepastian penyerapan batu bara dalam negeri. Hal ini tentu mendorong peningkatan penyerapan batu bara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).
"Sekarang harga juga saya tanya ke beberapa perusahaan, sekarang juga bagus, pasokan ke PLN seebsafr USD 70 per ton juga ada semua. Dia kan dapat kontrak PLN luar biasa itu. JAdi PLN merupakan user yang cukup potensial," tuturnya.
Penetapan harga batu bara khusus dengan patokan tertinggi USD 70 per ton untuk listrik nasional, diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1395.K / 30 / MEM / 2018. Hal ini untuk melindungi kepentingan masyarakat daya beli dan daya saing industri‎.Â