Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah memperketat pengawasan terhadap transaksi efek dalam portofolio investasi reksa dana yang dimiliki oleh investor tunggal. Langkah ini dilakukan seiring adanya temuan aktivitas yang tinggi dari pemanfaatan reksa dana dilakukan oleh sejumlah pihak.
Berdasarian temuan OJK saat ini terdapat 2.158 reksadana dengan nilai dana kelolaan mencapai Rp 536,52 triliun. Dari jumlah tersebut, terdapat 689 reksa dana yang dimiliki investor tunggal dengan nilai dana kelolaan sebesar Rp 190,82 triliun.
Advertisement
Baca Juga
Adapun 621 reksa dana di antaranya merupakan reksa dana investor tunggal dengan portofolio investasi lebih dari satu efek atau non tunggal dengan dana kelolaan reksa dana seperti ini sebesar Rp 181,38 triliun. Kemudian terdapat 68 reksa dana investor tunggal dengan portofolio investasi tunggal atau hanya satu efek dengan total dana kelolaan reksa dana ini mencapai Rp 9,44 triliun.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II, Fakhri Hilmi mengatakan, pihaknya saat sedang melakukan pendalaman terhadap aktivitas perkembangan reksa dana tunggal. Untuk sementara waktu, OJK akan menyetop pendaftaran investor tunggal untuk masuk ke dalam reksa dana.
"Fenomena ini yang buat kita harus mendalami hal ini. Tidak ada negatif atau positif, ini perlu kita dalami. Untuk sementara waktu pendaftaran baru investasi tunggal kita stop dulu sementara yang sudah jalan, jalan seperti biasa, yang baru kita hentikan dulu," katanya kepada awak media, saat ditemui di Kantornya, Jakarta, (12/9/2019).
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tidak Salahi Aturan
Fakhri menekankan, memang tidak ada yang salah dan dilanggar dari aktivitas tersebut. Namun sebagai otoritas, adanya aktivitas yang tinggi dari instrumen tersebut maka sewajibnya pihaknya melakukan pengawasan sebagaimana tugas dan fungsi OJK sendiri.
"Tidak ada aturan yang dilanggar di sini, konteks pengawasan yang dilakukan OJK. Kita selalu analisa data untuk melakukan kebijakan. Karena banyak kemarin, nanya sanksi. Kita gak bicara sanksi di sini, kita bicara data yang kita selalu analisa sehingga kita ambil kebijakan," jelas dia.
Dia menambahkan OJK juga telah melakukan komunikasi dengan Manajer Investasi (MI) terkait temuan tersebut. Sehingga nanti dapat disimpulkan apa-apa saja yang menyebabkan tingginya aktivitas dari instumen reksa dana tunggal.
"Tergantung analisis hasil komunikasi kita dengan MI. Nanti seperti apa kita sedang dalami. Kita berpikiran terbuka, kita liat ada data seperti ini kita akan klarifikasi ini," tandasnya.
Advertisement
OJK Perlu Awasi Konglomerasi Sektor Keuangan
Indonesia kini tengah berada dalam ancaman arus modal keluar (capital outflow) yang besar imbas dari perlambatan ekonomi global. Hal itu terungkap dalam materi presentasi Bank Dunia yang bertajuk Global Economics Risk and Implications for Indonesia.
Dalam materi itu, Bank Dunia juga menyoroti permasalahan di industri keuangan Indonesia. Disebutnya, ada sejumlah hal yang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu perbaiki di industri keuangan RI.
Masalah pertama, konglomerasi yang terjadi di sektor keuangan. Kedua, persoalan kredibilitas yang terjadi di sektor asuransi dalam negeri.
Bank Dunia mengungkapkan, konglomerasi di sektor keuangan mengambil pasar industri perbankan sampai 88 persen.
OJK dinilai perlu memperbaiki tata kelola dan pengawasan terhadap proses penilaian risiko lintas sektor. Sebab, gap antara regulasi dan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan sangatlah besar.
Bank Dunia juga menyarankan OJK untuk merevisi aturan, dan membentuk satu tim yang khusus mengawasi risiko dari konglomerasi keuangan ini.
Persoalan kedua ialah masih lemahnya industri asuransi Indonesia. Sebagai contoh, Bank Dunia menekankan dua asuransi jiwa nasional terbesar, yakni Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Asuransi Jiwasraya, yang belum mampu memenuhi kewajibannya.
"Tidak main-main, mengingat kedua asuransi tersebut memiliki sekitar 7 juta orang nasabah dengan lebih dari 18 juta polis, di mana mayoritasnya merupakan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah," tulis Bank Dunia, Jumat (6/9/2019).
Bank Dunia menyarankan, OJK perlu melakukan penilaian mendetil terhadap gap aktuaria. Dan berdasarkan penilaian tersebut bisa mengambil kebijakan recovery atau resolusi.