Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor Indonesia pada Agustus 2019 mencapai USD14,20 miliar. Laju impor ini mengalami penurunan sebesar 15,60 persen dibandingkan dengan Agustus 2018 yang sebesar USD16,82 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, impor terbesar Indonesia masih didominasi oleh barang-barang dari China sekitar USD 3,7 miiliar. Adapun China mengimpor barang seperti perabot rumah, penerangan, plastik, kendaraan dan mesin-mesin pesawat mekanik.
Advertisement
Baca Juga
Khusus perabotan dan penerangan rumah, nilai impornya sebesar USD77 juta. "Berdasarkan negaranya China masih mendominasi impor ke Indonesia," ujar Suharyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (16/9).
Meski demikian, Suhariyanto mengatakan impor Indonesia dari China tergolong turun jika dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya. Agustus tahun lalu, nilai impor dari negara tirai bambu tersebut tercatat sebesar USD 3,9 miliar.
"Barang konsumsi, bahan baku dan barang modal terjadi penurunan impor. Yang turun tajam pertama bawang putih turun, biasanya kita impor dari Tiongkok," jelasnya.
Walau impor barang pada Agustus turun, Suhariyanto meminta pemerintah tetap bisa mengendalikan laju barang dari luar negeri masuk ke Indonesia. Hal tersebut untuk menjaga agar neraca perdagangan tidak mengalami defisit yang cukup lebar.
"Kita harap untuk beberapa impor yang tidak signifikan, bisa kita kendalikan. Dengan begitu kita bisa memperbaiki defisit neraca perdagangan."
Â
Reporter:Â Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Baja Impor Banjiri Pasar Indonesia, Pengusaha Geram
Tingkat Pertumbuhan konsumsi baja di Indonesia menempati peringkat pertama di ASEAN pada 2017. Konsumsi terbesar tersebut digenjot oleh besarnya permintaan sektor konstruksi dalam beberapa tahun belakangan.
Peningkatan permintaan sektor konstruksi tersebut diiringi oleh peningkatan kapasitas produksi. Sayangnya, peluang ini juga dibarengi oleh peningkatan masuknya barang impor terutama dari China dan Vietnam.
Berdasarkan data dari BPS, peningkatan ini sebenarnya terlihat dari tahun ke tahun sejak 2013, namun bertambah tinggi mulai 2017-2018. Pemicunya ditenggarai karena harga barang impor adalah 30-40 persen di bawah harga domestik Indonesia.
Direktur Eksekutif Indonesia Zinc Aluminium Steel Industries (IZASI) Maharany Putri mengatakan, besarnya baja impor yang masuk ke Indonesia membuat industri dalam negeri terjepit. Sebab, harga yang ditawarkan oleh China lebih murah.
"Kalau barang impor ini, China dan Vietnam masuk deras, ini seperti tsunami bagi pengusaha dalam negeri. Harga produknya mungkin lebih murah tetapi non standar, ini yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah," ujarnya di Ibis Style, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Reporter:Â Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com Â
Advertisement
Subsidi Pemerintah China
Maharany mengatakan, harga produk China lebih murah karena banyaknya subsidi pemerintahnya serta pengalihan kode tarif barang yang berimbas kepada perbedaan bea masuk. Untuk diketahui, China memberikan subsidi 9-15 persen untuk pengusaha jika melakukan ekspor.
"Dan yang paling penting adalah karena bisa masuknya barang yang berkualitas di bawah apa yang sudah ditetapkan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia) sebagai platform regulasi yang berlaku di Indonesia," jelasnya.
Sementara itu, Bendahara Umum IZASI Handaja Susanto mengatakan, situasi yang tidak menguntungkan diperburuk dengan diberlakukannya kebijakan Presiden Trump yang menambah tarif impor sebesar 25 persen untuk baja. Di mana pada saat yang sama Permendag 22/2017 tentang pelonggaran impor, diimplementasikan.
"Akibatnya tahun 2018, Indonesia menjadi tujuan terbesar di antara negara-negara ASEAN yang dibanjiri oleh produk baja RRT dan menjadikan baja berada di peringkat kedua untuk jenis barang impor yang kebanjiran setelah mesin," paparnya, Â