Liputan6.com, Jakarta - Kinerja ekspor minyak sawit dan produk turunannya (di luar biodiesel dan oleochemical) Indonesia menunjukkan tren yang memuaskan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, total ekspor sampai dengan Juli lalu mencapai 17,76 juta ton. Volume ekspor minyak sawit dan produk turunannya tersebut mengalami kenaikan sekitar 16 persen dari bulan Juni.
“Sementara di periode yang sama 2018 (year on year/yoy) tercatat 16,97 juta ton atau mengalami kenaikan 4,7 persen,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Joko, kenaikan ekspor terbesar dibukukan oleh China yang mengalami kenaikan 46,7 persen (yoy), disusul negara-negara di Afrika sebesar 20,11 persen (yoy) dan beberapa negara Asia, khususnya Jepang dan Malaysia. Afrika sebagai negara tujuan ekspor baru yang sedang digarap Indonesia menunjukkan kinerja cukup baik.
“Ini adalah keberhasilan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam melakukan promosi ke negara-negara Afrika,” kata Joko Supriyono.
Penurunan ekspor masih terjadi di India (-19,86 persen YoY), Amerika Serikat (-14,3 persen YoY), serta Pakistan dan Bangladesh. Penurunan ekspor ke India masih dikarenakan pengenaan tarif impor yang tinggi (54 persen) untuk produk olahan dan 40 persen untuk produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Namun kabar baik diperoleh dari India, karena negara ini akan menurunkan tarif impor untuk produk olahan sawit Indonesia menjadi 45 persen sehingga sama dengan tarif yang dikenakan kepada produk olahan sawit Malaysia.
“Tentu ini karena negoisasi yang terus menerus dilakukan oleh Kemendag dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) kepada Pemerintah India,” ujar Joko Supriyono.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Uni Eropa Kurangi Impor Sawit
Pasar ekspor masih tumbuh 1,5 persen (yoy) walaupun diwarnai penuh masalah dan berbagai kampanye negatif. Masalah paling serius yakni rencana Uni Eropa untuk mengurangi impor sawit mulai 2021.
Terhadap rencana ini, Pemerintah Indonesia terus melakukan loby disertai ancaman retaliasi beberapa produk impor dari Uni Eropa.Pada sisi lain, perolehan devisa ekspor mengalami penurunan.
Sampai dengan Juli, devisa ekspor dari produk sawit (di luar biodiesel dan oleochemical) mencapai USD 9,8 miliar.
“Angka ini turun 18 persen dibanding periode yang sama tahun 2018, yaitu sebesar USD 11,9 miliar,” kata Joko Supriyono.
Harga CPO di pasar internasional mulai menunjukkan pergerakan naik. Joko Supriyono berharap, tren kenaikan ini terus menunjukkan ke arah yang positif hingga akhir tahun.
“Sehingga sawit tetap mampu berkontribusi positif terhadap neraca perdagangan Indonesia,” katanya.
Advertisement
Ekspor Sawit Dapat Selamatkan Neraca Dagang Indonesia
Indonesia tengah mengalami defisit neraca perdagangan yang cukup tinggi. Neraca dagang Indonesia defisit USD 2,03 miliar pada Juli 2018.
Kondisi ini terus berlanjut di tengah rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena impor lebih tinggi dibanding ekspor.
Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Joko Supriyono menyatakan, sektor perkebunan kelapa sawit dapat menjadi penyelamat perekonomian nasional di tengah tekanan global saat ini.
Dia mengungkapkan, ekspor minyak sawit mampu menyelamatkan neraca perdagangan nasional dari ancaman defisit yang membengkak.
"Yang dibutuhkan negara ini adalah mendorong industri yang menyerap tenaga kerja tinggi dengan devisa yang tinggi," kata Joko, di Tanjung Pandan, Belitung, Jumat (24/8/2018).
Dia menuturkan, kelapa sawit merupakan industri yang menghasilkan devisa yang tinggi sekaligus juga mampu menyerap banyak tenaga kerja
"Oleh karena itu, pentingnya sawit. bagaimana dalam jangka pendek mengatasi situasi genting (defisit neraca perdagangan) saat ini," ujar dia.
Tahun lalu, ekspor minyak sawit tercatat menyumbang devisa USD 22,9 miliar dan menyerap tenaga kerja sedikitnya 6 juta orang.
"Atas keunggulan karakteristik ini, kelapa sawit semestinya didorong untuk terus menerus melakukan kegiatan ekspor. Kita perlu memperkuat peranan industri yang bisa menutup defisit neraca perdagangan ini," ujar dia.
Namun demikian, kata Joko, pengembangan industri kelapa sawit terhambat maraknyakampanye hitam dari negara-negara maju (Uni Eropa dan Amerika Serikat).
"Yang patut disayangkan, banyak masyarakat Indonesia yang percaya bahwa kampanye negatif sawit itu sebagai fakta. Oleh karena itu, kita harus mengedukasi masyarakat tentang kelapa sawit yang benar," tutur dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com