Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 412 permasalahan dalam pendapatan, biaya dan investasi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2019.
Dikutip dari IHPS I 2019, di Jakarta, Rabu (18/9/2019), pemeriksaan atas pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi BUMN dilakukan terhadap 15 objek pemeriksaan.
Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pendapatan, biaya, dan investasi BUMN telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian pada 12 objek pemeriksaan dan tidak sesuai kriteria pada 3 objek pemeriksaan. Hasil pemeriksaan mengungkap 246 temuan yang memuat 412 permasalahan.
Advertisement
Baca Juga
Permasalahan yang perlu mendapat perhatian terutama adalah kekurangan penerimaan Perum Bulog, terutama pendapatan talangan penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk bencana alam dan operasi pasar sampai 31 Desember 2018 sebesar Rp 649,43 miliar yang belum diterima dari pemerintah.
Permasalah pada Blulog berikutnya adalah klaim asuransi kekurangan kuantum beras impor dalam proses pengiriman laut sebesar USD 856,15 ribu dan pendapatan hasil kerja sama pemeliharaan dan penyaluran sapi siap potong dengan PT Berdikari (Persero) sebesar Rp 78,14 miliar.
Selain itu, BPK juga menemukan bahwa Perum Bulog belum menyetorkan hasil penjualan beras operasi pasar CBP tahun 2018 ke kas negara per 31 Desember 2018 sebesar Rp 888,68 miliar.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bukit Asam
Permasalahan berikutnya adalah kekurangan penerimaan PT Bukit Asam Tbk atas potensi denda liquidated damages karena tidak terpenuhinya availability factor (AF) dalam perjanjian kontrak Engineering, Procurement and Construction(EPC) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Banjarsari sebesar USD 21,26 juta dengan kontraktor PT CNEEC.
Selain itu, PT Bukit Asam Tbk belum memungut pendapatan sewa lahan dan bangunan dari PT GIN minimal, sebesar Rp 14,21 miliar serta denda sewa sebesar Rp 3,76 miliar.
Advertisement
Citilink Indonesia
Masalah lain adalah pelaksanaan kerja sama penyediaan layanan konektivitas dan in-flight entertainment PT Citilink Indonesia (PT CI) anak perusahaan PT Garuda Undonesia (Persero) dengan PT Mahata Aero Teknologi (MAT) tidak sesuai dengan ketentuan.
Terutama pada kedudukan para pihak Direktur Utama PT CI hanya bertindak untuk dan atas nama PT CI dan tidak dinyatakan mendapat kuasa dari PT GIA dan PT Sriwijaya Air (PT SA).
Oleh karena itu, PT GIA dan PT SA tidak memiliki kedudukan hukum dalam perjanjian. Objek perjanjian kerja sama antara MAT dan PT CI hanya mengatur objek perjanjian PT CI.
Sedangkan untuk objek perjanjian terkait dengan aset milik PT GIA dan PT SA, PT CI tidak memiliki kewenangan.
Tidak ada jaminan pelaksanaan dari MAT, hanya 9 pesawat dari 203 pesawat yang telah memperoleh izin pemasangan dari lessor.
Belum ada kesepakatan jadwal instalasi peralatan konektivitas pada pesawat PT GIA dan PT SA.
Objek perjanjian in-flight entertainment yang dikerjasamakan dengan MAT masih terikat perjanjian antara PT GIA dengan pihak lain.
MAT belum melaksanakan sebagian besar lingkup pekerjaan dalam perjanjian kerja sama setelah tanggal efektif dan belum melakukan pembayaran atas tagihan biaya kompensasi sebesar US$241,94 juta.
Permasalahan lainnya adalah pengakuan pendapatan atas transaksi PT CI dengan MAT pada Laporan Keuangan Konsolidasian PT GIA dan Entitas Anak untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2018 tidak sesuai Standar Akuntansi Keuangan.