Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, mengklaim bahwa sudah tidak ada masalah terkait dengan tarif baru ojek online (ojol) yang diberlakukan di seluruh Indonesia. Bahkan, sejauh ini para mitra ojol pun menanggapi kebijakan tersebut dengan baik.
"Sejauh ini apa yang dijalankan, orang happy. Jadi saya pikir apa yang kita diskusikan dengan Grab, pengemudi, itu sangat efektif," kata dia saat ditemui di Jakarta, Selasa (24/9).
Budi mengatakan, pada tahap pertama dilakukan di 15 kota kebijakan tarif tersebut hampir tidak ada yang protes. Begitu pun ketika dilakukan perluasan dibeberapa lokasi juga direspon dengan baik para mitra dan masyarakat.
Advertisement
"Jadi saya terimakasih dengan Grab yang sudah berdiskusi dengan baik. Ini kan untuk kepentingan publik, kita hati-hati sekali. Sejauh ini ga ada, masih positif," tandas Budi Karya Sumadi.
Seperti diketahui, penyesuain tarif baru untuk ojek online berlaku penuh di seluruh Indonesia pada 2 September lalu. Keputusan tarif tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 348 tahun 2019 yang merupakan turunan atas Permenhub 12/2019.
Di mana untuk Zona I (Sumatra, Jawa, Bali kecuali Jabodetabek) Rp 1.850 - Rp 2.300 per km dengan biaya minimal Rp 7.000 - 10.000.Sedangkan Zona II (Jabodetabek) mulai Rp 2.000 - Rp 2.500 per km dengan biaya minimal Rp 8.000 - Rp 10.000.
Kemudian untuk Zona III (Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan lainnya) mulai Rp 2.100 - Rp 2.600 dengan biaya minimal Rp 7.000 - 10.000.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pakar IT: Pemerintah Jangan Atur Tarif Ojek Online
Tarif ojek online yang diatur pemerintah dengan tarif atas dan bawah mendapat kritikan dari pakar IT. Seharusnya pemerintah mendorong pemakaian teknologi artificial intelligence (kecerdasan buatan/AI) dalam penentuan tarif ketimbang intervensi via regulasi.
"Saat ini Kemenhub masih menerapkan aturan dan regulasi untuk menetapkan tarif minimum dan maksimum untuk Gojek dan Grab. Bagaimana kita bisa memakai AI (untuk optimalisasi) jika mereka menerapkan batas maksimum dan minimum? Itu kontradiktif," ujar Imron Zuhri, founder perusahaan big data Dattabot, pada Senin (16/9/2019) dalam dialog internasional yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta.
Imron pun berharap agar pemerintah jangan menerapkan regulasi yang terlalu detail karena bisa menyulitkan perkembangan teknologi.
Satu panel bersama Imron, CSIS juga mengundang pembicara dari McKinsey dan Google Asia Pacific. Mereka pun berkata agar pemerintah suatu negara jangan merumitkan sektor digital dengan regulasi.
Jake Lucchi, Head Content of Content and AI di Google Asia Pacific, berkata agar jangan terlalu banyak aturan-aturan yang ketat. Pasalnya, itu tak sesuai dengan sifat dunia teknologi yang cepat berubah.
Â
Advertisement
Selanjutnya
Sementara, Wojtek Krok dari McKinsey menyarankan agar pemerintah mengurus kerangka dasar saja yang terkait bias, explainability (cara AI mengambil keputusan), privasi, serta keselamatan dan keadilan.
"Pandangan pribadi saya, jangan ikut campur terlalu banyak di luar hal itu. Buat saja kerangka dasar, pastikan tak ada yang dibuat rugi, segalanya adil, dan ada hukum privasi," ucap Krok. "Saya pikir kita butuh peraturan mendasar, tetapi saya tidak bepikir pemerintah bisa mengikuti perubahan-perubahan yang mendasar," pungkasnya.