Sukses

ADB Ramal Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,1 Persen di 2019

ADB merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen

Liputan6.com, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 menjadi sebesar 5,1 persen dari sebelumnya 5,2 persen. Tidak hanya tahun ini, ADB juga merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan menjadi 5,2 persen.

Direktur ADB untuk Indonesia, Winfried Wicklein mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar masih disumbang oleh konsumsi.

"Konsumsi yang kuat akan membuat Indonesia mampu meneruskan pertumbuhan ekonominya baik tahun ini dan tahun depan," ujarnya di Plaza Indonesia, Jakarta, Rabu (25/9).

Winfried mengatakan, laju penumbuhan tahun ini yang sedikit lebih lambat mencerminkan penurunan ekspor dan melemahnya investasi domestik.

Meski demikian, investasi diperkirakan akan terus membaik menjelang akhir tahun, seiring dengan kemajuan pembangunan proyek-proyek strategis nasional untuk meningkatkan jaringan infrastruktur.

"Fundamental perekonomiannya masih solid, dengan posisi fiskal yang dikelola dengan baik, harga-harga yang stabil, dan cadangan devisa pada posisi yang cukup aman. Diperlukan investasi yang lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan fokus pada daya saing dan pengembangan sumber daya manusia sebagai kuncinya," jelasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Kawasan Asia

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia yang sedang berkembang masih cukup kuat, tetapi prospeknya kini meredup dan risiko terhadap perekonomian di kawasan ini terus naik seiring melemahnya perdagangan dan investasi.

ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi 45 negara yang menjadi bagian dari kawasan Asia yang sedang berkembang sebesar 5,4 persen tahun ini pada tahun 2020. Perkiraan baru yang Iebih rendah tersebut mencerminkan turunnya prospek perdagangan internasional, sebagian karena memburuknya ketegangan perdagangan antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan Amerika Serikat (AS).

"Kemudian juga disebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi di sejumlah perekonomian negara maju dan perekonomian besar di kawasan Asia yang sedang berkembang, termasuk RRT, India, Republik Korea, dan Thailand," tandasnya.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

3 dari 3 halaman

Pemindahan Ibu Kota Tak Mampu Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa pemindahan ibu kota tidak akan berdampak pada peningkatan ekonomi secara luas.

Berdasarkan kajian Indef pemindahan ibu kota hanya akan berdampak pada wilayah Kalimantan Timur. Sementara untuk wilayah Kalimantan secara keseluruhan tidak akan berdampak. Apalagi secara nasional.

"Tapi satu kalimantan pun tidak bergerak naik, karena adanya pembangunan ibu kota baru apalagi pertumbuhan ekonomi secara nasional," kata dia, di Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Sementara jika menilik sektor, tidak semua sektor akan menggeliat karena pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. "Justru hasil riset kita menemukan ada distorsi terhadap sektor yang memproduksi barang atau tradeable, yang naik cuma properti, spekulan tanah, kontruksi administrasi pemerintahan itu naik tapi yang lain tambang kebun itu justru kontraksi turun," jelas dia.

Selain itu, pemindahan ibu kota akan menimbulkan munculnya tambahan biaya bagi pelaku usaha. Biaya tersebut, disebut dengan biaya koordinasi. "Ada masalah koordinasi baru, dimana kalau pusat pemerintahan pindah sementara pusat ekonomi/bisnis jauh, berapa ongkos untuk koordinasi misalnya, sedangkan pelaku bisnis ada di Jakarta," ujarnya.

"Nah ini kan ada biaya baru, pastinya ini dibebankan kepada pelaku usaha sehingga otomatis bukan menumbuhkan tapi jadi beban atau operasional cost pelaku usaha," tandasnya.