Liputan6.com, Jakarta Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memberi penjelasan pada sekitar 150 mahasiswa perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian dari 55 universitas dan empat organisasi mahasiswa seluruh Indonesia. Penjelasan itu terkait Rencana Undang Undang (RUU) Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) dan RUU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (KHIT).
Pertemuan Amran dengan para mahasiswa di Kampus Pertanian, Jl. Harsono R.M. No. 3, Jakarta, Jumat (27/9) itu mendapat masukan konstruktif dan dapat diterima dengan baik. Menurut Amaran, komunikasi dengan mahasiswa dilakukan secara periodik, agar mereka mengetahui sekaligus memahami tentang kebijakan Kementan.
Ada yang menarik dari diskusi Mentan dengan mahasiswa terutama atas pertanyaan Willy Medi perwakilan mahasiswa dari BEM Faperta UGM, saat santap makan siang bersama. Willy mempermasalahkan pasal 29 ayat (3) RUU SBPB yang berbunyi “Varietas hasil Pemuliaan Petani kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota”.
Advertisement
Menurutnya, kenapa dibatasi hanya untuk satu kabupaten dan tak untuk seluruh Indonesia? Menurutnya, itu nampak sama saja dengan UU lama yaitu UU No. 12/1992 yang sudah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Kostitusi (MK) No. 99 PUU-X/2012 tentang uji materi terhadap UU No. 12/1992 Sistem Budidaya Tanaman.
Amran menjelaskan bahwa RUU SBPB/2019 ini menindaklanjuti putusan MK No. 99 PUU-X/2012 dengan merevisi UU No. 12/1992 di mana draft-nya telah didiskusikan dengan para pakar pertanian dan stakeholder lainnya sejak 2016.
Ada perbedaan mendasar antara UU No. 12/1992 dan RUU SBPB/2019, yaitu pada UU lama terdapat pasal yang mengatakan bahwa setiap orang wajib memiliki izin dalam pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik (SDG). Sementara pada RUU baru mengatakan petani kecil dikecualikan dari perizinan dalam melakukan pencarian dan pengumpulan SDG.
Selain itu Amran menjelaskan bahwa pada UU lama dinyatakan bahwa “Setiap orang dalam peredaran varietas tanaman hasil pemuliaan wajib dilakukan pelepasan terlebih dahulu”, sementara dalam RUU baru menyatakan bahwa “Varietas hasil pemuliaan petani kecil tidak dilakukan pelepasan, akan tetapi peredarannya dibatasi dalam lingkup kelompok dalam satu kabupaten/kota. Jelas beda, UU lama harus ada izin, dan peredaran varietas wajib didahului pelepasan, sedangkan RUU baru tidak perlu izin dan peredaran varietas tidak perlu pelepasan.
Lebih lanjut Amran menjelaskan alasan, kenapa peredarannya dibatasi hanya dalam 1 kabupaten/kota. Seorang petani kecil bisa jual benih untuk satu kabupaten (luas sawah 50.000 ha, harga benih Rp 25.000/kg, kebutuhan benih 25 kg/ha, IP 200) omsetnya bisa mencapai 62,5 milyar Rp/th.
Bila petani tersebut menjual benih lintas kabupaten maka tentu omsetnya bisa mencapai lebih dari 62,5 milyar Rp/th, artinya status petani tersebut bukan petani kecil lagi tapi petani besar alias pengusaha, atau bahkan kongmerat. Petani dengan omset modal sebesar itu tentu dia mampu mengurus surat izin dan mampu mengurus pelepasan varietas di Kementan, Jakarta. Apalagi saat ini Kementan sudah memberikan pelayanan secara online, bisa cepat hanya perlu waktu 2-3 jam.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam peredaran benih adalah selain produktivitas dan kualitas juga keyakinan bahwa benih tersebut tidak rentan atau tidak membawa hama dan penyakit yang berbahaya. Kita harus belajar dari beberapa negara di Afrika, gara-gara benih yang rentan terjadi serangan penyakit yang disebabkan mikroba, produksi pangan hancur, akhirnya rakyat menjadi sengsara. Itu yang harus dihindari dengan melakukan pengawasan, pungkas Amran.
Seluruh mahasiswa nampak serius dan mengangguk-anggukan kepala, dan mengatakan mereka faham dan setuju terhadap penjelasan Amran. Akhirnya diskusi ditutup dengan menyanyikan lagu bersama berjudul GEBYAR ciptaan musikus kawakan Gomloh (alm) dengan penuh semangat dan riang gembira. Lalu nampak Amran dengan sabar dan ceria meladeni mahasiswa yang berebut berswafoto.
(*)