Liputan6.com, Jakarta - Bisnis jasa titip (jastip) sedang marak belakangan. Model bisnis ini dinilai menguntungkan karena memanfaatkan kesempatan saat seseorang bepergian ke luar negeri untuk membelikan barang-barang yang tidak ada di Indonesia.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai bisnis jastip sah-sah saja dilakukan karena tidak melanggar aturan yang saat ini berlaku.
Menurutnya, jika pemerintah memang ingin menerapkan pajak impor pada pelaku usaha jastip, maka harus ada regulasi yang jelas terlebih dahulu.
Advertisement
Baca Juga
"Asalkan tidak lebih dari USD 500, kan, tidak masalah. Kalau memang mau ditindak harus ada aturan yang spesifik, bagian mana yang dilarang, mana yang diperbolehkan," ujar Yustinus saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (28/09/2019).
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tidak Boleh Lebih dari USD 500
Bisnis jastip, lanjutnya, memanfaatkan model tentengan dalam membawa barang impor. Tiap orang tidak boleh membawa barang impor lebih dari USD 500 atau sekitar Rp 7 juta (asumsi kurs Rp 14.149), nilai yang sebenarnya cukup kecil untuk bisnis.
Namun, ada celah dimana pelaku usaha mengkoordinir banyak orang untuk membeli barang pesanan di luar negeri. Dengan kata lain, orang-orang tersebut membawa barang pesanan dari satu pelaku usaha. Hal ini dikenal sebagai splitting.
Tapi karena belum ada regulasi spesifik tentang hal ini, seharusnya bisnis jastip tidak mengalami kendala. Toh, pelaku usaha jastip hanya memanfaatkan teknologi untuk mempermudah konsumen mendapatkan barang dari luar negeri.
"Ini, kan, memanfaatkan teknologi supaya konsumen lebih mudah mendapatkan barang," tuturnya.
Advertisement
Importir dan Bisnis Jastip Berbeda
Bagaimana dengan nasib importir resmi yang bayar bea dan pajak?
Yustinus menyatakan, sebenarnya jika dibandingkan, importir dan pelaku usaha jastip berada di skala yang berbeda.
"Bisnis, kan, yang penting di margin, ya. Apakah marginnya masih kompetitif, itu yang penting diperhatikan. Kalau importir biasa seharusnya tidak terdampak dalam arti volume dan nilai barang," ujarnya.
Batas USD 500 dinilai cukup kecil untuk bisnis, sehingga harusnya importir tidak dirugikan karena skala bisnis mereka lebih besar.