Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disetujui oleh Presiden dan DPR. Namun publik masih menuntut Presiden untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap UU KPK agar lembaga antirasuah tersebut tidak dilemahkan.
Lalu apa dampaknya terhadap perekonomian jika Presiden tidak mengeluarkan Perpu tersebut?
Ekonom Senior, Faisal Basri mengungkapkan jika Perppu KPK tidak diterbitkan maka perekonomian RI akan terganggu. Tidak hanya ekonomi, namun kondisi Indonesia secara umum akan mengalami kemunduran.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau saya sih sudah enggak bicara ekonomi. Terancamnya peradaban. Kan rusak peradaban karena itu (korupsi)," kata dia, saat ditemui di Kantor INDEF, Jakarta, Senin (30/9).
Dia mencontohkan beberapa negara yang mengalami kemunduran akibat suburnya praktik korupsi di negara tersebut. Salah satunya adalah Venezuela, Zimbabwe, Libya, dan Syiria.
"Everywhere peradabannya mundur, bahkan rusak gara-gara korupsi itu," tutupnya.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menyikapi hasil revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan DPR. Keputusan itu setelah UU KPK baru disahkan mendapat pro dan kontra masyarakat.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perppu UU KPK Dinilai Bisa Munculkan Preseden Kurang Baik
Pengamat politik Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi menilai penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait UU KPK bisa menjadi preseden kurang baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Bisa menjadi preseden yang kurang baik dalam ketatanegaraan kita, di mana satu produk UU belum apa-apa, sedikit-sedikit di-perppu-kan," katanya di Jakarta, Jumat 27 September 2019.
Hal itu disampaikannya usai diskusi bertema "Dinamika Seputar Revisi UU KPK: Studi Kedalaman Politik Legislasi" di Universitas Negeri Jakarta.
Ia mengakui bahwa perppu merupakan hak Presiden, dan urgensinya tergantung tafsir pemerintah mengenai kondisi yang bersifat memaksa, darurat, dan genting sehingga perlu mengeluarkan perppu.
"Kalau pemerintah melihat aspirasi gerakan jalanan, ekstra parlementer, tekanan masyarakat cukup besar, dan akan memengaruhi legitimasi politiknya, bisa saja karena ada kepentingan menjaga citra politiknya mengeluarkan perppu untuk memenuhi tuntutan publik," katanya.
Namun, kata dia, pemerintah bisa saja dinilai mencari aman demi menjaga citra politik, sebab sejak awal sebenarnya pemerintah bisa memediasi aspirasi terkait RUU KPK.
"Pemerintah kan 'co-legislator' dalam proses legislasi dan sejak awal sebenarnya bisa memediasi aspirasi yang dibawa DPR terkait RUU KPK, dan aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat, termasuk aspirasi KPK sendiri," katanya.
Advertisement