Sukses

Kemenhub Restui Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air Rujuk

Garuda dan Sriwijaya Air resmi berdamai.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan merestui perdamaian antara PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Sriwijaya Air. Keduanya sepakat melanjutkan kerja sama manajemen (KSM) setelah pekan lalu terjadi kisruh.

Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub Avirianto berkata perdamaian itu adalah perkembangan yang baik. Masyarakat pun menjadi diuntungkan.

"Ya lebih baik. Jaminan untuk masyarakat jadi aman," ujar Avirianto kepada Liputan6.com, Selasa (1/10/2019).

Ultimatum kepada Sriwijaya Air pun juga dibatalkan. Sebelumnya, Avirianto berkata akan mengambil tindakan pada Rabu besok jika Sriwijaya tidak mengambil tindakan terkait rekomendasi pemberhentian penerbangan.

Rekomendasi tersebut berasal dari Direktur Quality, Safety, dan Security PT Sriwijaya Air Toto Soebandoro. Isinya terkait penghentian sementara atau pengurangan jumlah penerbangan Sriwijaya Air.

Avirianto pun sempat meminta Sriwijaya Air mengambil keputusan jika tidak ingin Kemenhub yang langsung turun tangan. Kini, tuntutan itu sudah bisa diabaikan berkat perdamaian ini.

"Ya enggak jadi, diabaikan karena ini terjadi. Kan itu pagar membuka dan menutup, tetapi kalau di tengah jalan sudah selesai, itu diabaikan," pungkas Avirianto.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Sriwijaya Air Tunggak Utang Hingga Rp 2,46 Triliun

Maskapai penerbangan Sriwijaya Air Group menunggak utang senilai Rp 800 miliar kepada PT Garuda Maintenance Facilities (GMF) AeroAsia untuk biaya perawatan pesawat.

Selain kepada GMF, Sriwijaya Air Group juga menunggak utang kepada BUMN lainnya yakni PT Pertamina, Angkasa Pura I, dan II, Airnav Indonesia dan lainnya dengan total Rp 2,46 triliun terhitung pada Oktober 2018.

Direktur Operasi Sriwjaya Air Captain Fadjar Semiarto, menjelaskan banyaknya utang yang menunggak juga menjadi alasan pemutusan kerja sama dengan anak usaha Garuda Indonesia untuk perawatan pesawat itu. 

“Ya karena outstanding, tunggakannya besar, walaupun sudah dicicil juga tidak bisa dimitigasi, jumlahnya Rp 800 miliar, berpotensi macet,” ujar dia seperti mengutip Antara.

Ia menambahkan kondisi perusahaan pun sudah berada dalam rapor merah, yaitu dalam Hazard, Identification dan Risk Assessment sudah berstatus merah 4A di mana tingkat paling parah adalah 5A.

Kondisi tersebut, menurut Fadjar, sudah tidak memungkinkan bagi sebuah maskapai untuk meneruskan operasional penerbangan.

3 dari 3 halaman

Rekomendasi

Untuk itu pihaknya mengajukan surat rekomendasi untuk menghentikan sementara operasional Sriwijaya Air Group hingga kondisi sudah kembali memungkinkan, terutama kondisi finansial perusahaan.

“Dari kondisi finansial yang saat ini sedang berefek kepada hampir semua aspek, baik dari sisi operasi, sisi komersial, dan sisi teknis, kemudian sumber daya manusia dan paling berat finansial,” katanya.

Karena itu, ia menambahkan operasional terganggu. Salah satunya banyaknya keterlambatan penerbangan yang menyebabkan membengkaknya biaya layanan sebagai kompensasi.

“Dana service recovery dalam sehari itu bisa Rp 1 miliar untuk penerbangan, selama belum dikatakan cancel sesuai dengan PM 78 kita wajib menyediakan makanan ringan dan lainnya,” kata dia.

Dalam kesempatan sama Direktur Teknik Romdani Ardali Adang mengatakan pihaknya juga merasa khawatir sejak putus kontrak dengan GMF karena perawatan pesawat tidak terjamin.

“Saya terus terang sejak putus dengan GMF sampai saat ini khawatir karena status cukup merah. Spare part saja tidak, oli saja, ban pun terseok-seok,” dia menandaskan.